MEDIASI : Membangun Keadilan dalam Perdamaian

 In Hukum Perdata

Semua sengketa Perdata yang diajukan ke Pengadilan wajib terlebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui mediasi. Demikian intisari dari Pasal 4 dari Peraturan Mahkama Agung no 1 Tahun 2016 tentang Mediasi. Pasal ini menegaskan pentingnya proses mediasi dalam Hukum Acara Perdata, oleh karena itu menarik untuk dilihat bagaimana proses dan dampaknya.
Mediasi merupakan kata serapan dari bahasa inggris mediation yang berasal dari bahasa Latin mediare yang berarti ada di tengah. Mediasi adalah salah satu cara dalam Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menggunakan proses intervensi dari pihak ketiga yang disebut sebagai Mediator. Mediator tidak harus hakim, karena proses mediasi bisa saja dilakukan di luar Pengadilan. Hanya saja memang ada ketentuan bahwa mediator haruslah orang yang sudah memiliki sertifikat sebagai seorang mediator, seperti yang tertuang dalam Pasal 1 angka 2 “Mediator adalah Hakim atau pihak lain yang memiliki Sertifikat Mediator sebagai pihak netral yang membantu Para Pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian”. Ketentuan tersebut membatasi kewenangan mediator dalam proses mediasi itu sendiri, artinya Mediator adalah pihak yang pasif dan menyerahkan semua keputusan atas penyelesaian kepada Para Pihak. Konsekuensinya, Para Pihak harus hadir dengan atau tanpa Kuasa Hukum, kecuali berhalangan sebagaimana ketentuan Pasal 6 ayat (4). Sehingga ketidak hadiran dari Para Pihak dianggap sebagai bentuk itikad tidak baik yang memiliki akibat hukum yang tertuang dalam Pasal 22 bahwa Penggugat yang tidak beritikad baik dalam proses Mediasi, gugatan dinyatakan tidak diterima, selain itu juga harus membayar biaya Mediasi. Sedangkan pasal 23 menyatakan bahwa tergugat yang tidak beritikad baik dikenai sanksi membayar biaya Mediasi.
Ketentuan tentang akibat tidak beritikad baik yang dimuat dalam Perma 1/2016 ini menjadi pembeda dibandingkan dengan Perma 1/2008. Sehingga kekuatan paksa terhadap para pihak untuk lebih mengutamakan musyawarah untuk mufakat. Karena dalam musyawarah mufakat, tidaklah ada pihak yang dikalahkan, sehingga prinsip win – win solution ini bisa diraih Para Pihak. Dalam Perma 1/2016 juga dikatakan bahwa Mediasi merupakan instrumen untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap keadilan yang cepat, sederhana dan murah. Ini merupakan manifestasi dari upaya reformasi birokrasi badan peradilan di Indonesia.
Implikasi lain dari pengarusutamaan proses mediasi dalam penanganan perkara perdata ini adalah terkait infrastruktur, karena penegakan Perma ini belum diikuti dengan kesiapan ruang Mediasi di Pengadilan Negeri. Setiap Pengadilan Negeri setidaknya mereka hanya punya 1 ruangan khusus Mediasi, padahal perkara perdata yang harus melalui proses Mediasi dalam sehari pasti lebih dari satu. Hal ini tentu sangat mengganggu kelancaran proses Mediasi yang dilakukan secara tertutup.
Dengan berlakunya Perma 1/2016 ini setidaknya menjadi peringatan untuk Pengadilan di seluruh Indonesia untuk berbenah dengan memperbaiki infrastruktur fisik berupa ruang mediasi yang secara kualitas dan kuantitas memadai dengan rerata jumlah kasus yang ditangani. Serta ada kewajiban juga dari Mahkamah Agung untuk meningkatkan kapasitas para hakim mediator untuk lebih menginspirasi Para Pihak yang bersengketa untuk bisa yakin bahwa keadilan yang bisa memuaskan semua pihak. Seperti pesan Gus Dur bahwa “perdamaian tanpa keadilan adalah ilusi, karena perdamaian hanya bisa dicapai ketika tidak ada pihak yang dipaksa dan ditindas”.

Recommended Posts

Leave a Comment

Contact Us

We're not around right now. But you can send us an email and we'll get back to you, asap.

Start typing and press Enter to search