Menyelamatkan diri dari “jerat” Perppu Ormas

 In Hukum Tata Negara

Aksi massa dari Ormas

Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) yang terdaftar secara resmi di Indonesia adalah sebanyak 344.039, yang pastinya memiliki perbedaan kharakter dan pola geraknya. Banyaknya jumlah ormas ini sejalan dengan 3 prinsip kebebasan yaitu Kebebasan berserikat (Freedom of Association), Kebebasan Berkumpul (Freedom Of Assembly), dan Kebebasan berpendapat (Freedom of Speech) dalam pasal 28 E UUD 1945. Secara universal kebebasan ini juga ada dalam pasal 20 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), sehingga memenuhi kebebasan tersebut adalah kewajiban negara. Lalu bagaimana cara Negara melindungi kebebasan tersebut? Lalu bagaimana pengaruh terbitnya Perppu no 2 tahun 2017 terhadap eksistensi ormas di Indonesia?

Wikipedia Indonesia mengartikan ormas sama seperti yang tertuang dalam UU no 17 tahun 2013 yaitu organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila. Ketentuan pasal 1 angka 1 tersebut dengan tegas tentang hak dan kewajiban dalam pembentukan ormas. Sehingga ormas tersebut melalui anggota – anggotanya memiliki Hak dan kewajiban sebagai warga Negara yang diatur dalam pasal 26 – 30 UUD 1945. Ketentuan pasal 28J UUD 45 menyebutkan bahwa “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya,setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”. Dimana penekanan dalam ketentuan pasal ini adalah penghormatan terhadap hak orang lain agar hak individunya dilindungi oleh Negara.

Pandangan masyarakat saat ini terbelah menjadi 2 antara yang mendukung Perppu yang didominasi oleh pendukung pemerintah, dan yang menolak Perppu dimana kelompok ini lebih variatif mulai dari aktivis hingga kelompok oposisi. Dasar argumentasi yang digunakan kedua belah pihak sama kuatnya, sehingga membuka celah untuk dilakukannya Judicial Review.

Saat ini Perppu tersebut telah “memakan” korban, yaitu dibubarkannya Hizbut Tahrir Indonesia. Mereka dibubarkan karena dianggap anti pancasila. Pembubaran ini tidak dilakukan melalui pengadilan, melainkan menggunakan asas contrarius actus yang dimana pejabat yang menerbitkan keputusan bisa membatalkan keputusan tersebut. Dan perdebatan para ahli hukum masih pada tepat atau tidaknya penerapan asas contrarius actus tersebut dalam perppu ormas.

Ketika perdebatan antara pihak yang pro dan pihak yang kontra dengan perppu, ada ratusan ribu ormas yang juga sedang dilanda kecemasan. Mereka pasti akan berfikir, apakah organisasiku akan dibubarkan seperti HTI? Apalagi organisasi yang berbasis pada agama tertentu atau organisasi yang condong berhaluan kiri. Meskipun ada upaya perlawanan hukum terhadap keputusan pembubaran tersebut, namun selama proses hukum tersebut organisasi sudah bubar, berbeda halnya dengan sebelum adanya Perppu, dimana organisasi baru dinyatakan bubar setelah ada keputusan pengadilan sehingga organisasi masih bisa melakukan konsolidasi.

Apabila Perppu ini diterima dan menjadi Undang-undang, maka ormas lain selain HTI harus mulai meninjau kembali AD/ART agar sesuai dengan ketentuan Undang-undang. Hal yang paling penting untuk dilakukan oleh ormas-ormas tersebut harus mulai melibatkan pihak lain untuk melakukan audit legal terhadap organisasi untuk meninjau kembali manajemen organisasi sekaligus membangun konsolidasi internal agar bisa tujuan dari organisasi tersebut bisa segera diwujudkan. Audit legal ini menjadi penting untuk membangun transparansi kegiatan dan melihat legalitas organisasi baik dalam aspek manajerial, maupun aspek operasional.

Keterlibatan pihak ketiga dalam hal ini konsultan hukum untuk melakukan audit legal terhadap organisasi akan membantu meminimalisir resiko organisasi terkena dampak dari upaya pembubaran oleh pemerintah.

*Tulisan ini merupakan opini subyektif yang bukan kajian menyeluruh atas permasalahan hukum yang berkembang saat ini. Untuk mendapatkan informasi yang lebih memadai atas aspek hukum dan praktik terkait isu dalam tulisan ini silahkan menghubungi kami. 

Recent Posts

Leave a Comment

Contact Us

We're not around right now. But you can send us an email and we'll get back to you, asap.

Start typing and press Enter to search