Memaknai Kembali KTUN dalam Undang-undang Administrasi Pemerintahan

 In Hukum Administrasi

Dalam tulisan artikel sebelumnya kami menyajikan pokok pemikiran mengenai Keputusan Tata Usaha Negara ditelaah dari sudut pandang Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang- Undang Nomor 51 Tahun 2009 (UU PTUN). (baca: Asas Fiktif Positif dan Fiktif Negatif dalam Keputusan Tata Usaha Negara) Dalam UU PTUN Keputusan Tata Usaha Negara secara substantif memiliki unsur-unsur sebagai berikut : bentuk penetapan itu harus tertulis, dikeluarkan oleh Badan atau Jabatan TUN, berisi tindakan hukum TUN, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, bersifat konkret individual dan final, menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Sengketa tata usaha negara berdasarkan UU PTUN secara substantif bersumber dari sikap pejabat tata usaha negara dengan individu atau badan hukum perdata atas sebuah keputusan maupun tindakan yang berupa : tindakan faktual, tertulis, sikap diam. Sedangkan keputusan yang tidak termasuk dalam kategori KTUN sebagaimana diatur dalam pasal 2 UU PTUN adalah sebagai berikut : Keputusan TUN yang merupakan perbuatan hukum perdata; Keputusan TUN yang merupakan pengaturan yang bersifat umum; Keputusan TUN yang masih memerlukan persetujuan; Keputusan TUN yang dikeluarkan berdasarkan KUHP dan KUHAP atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana; Keputusan TUN yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; Keputusan TUN mengenai tata usaha TNI.
Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 17 Oktober 2014 telah mengundangkan Undang-undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP). Dalam UUAP yang dimaksud dengan administrasi pemerintahan adalah tata laksana dalam pengambilan keputusan dan/atau tindakan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan. Poin pentingnya adalah tata laksana dalam pengambilan keputusan dan/atau tindakan. Keputusan dalam UUAP dimaknai sebagai Keputusan Administrasi Pemerintahan yang juga disebut Keputusan Tata Usaha Negara atau Keputusan Administrasi Negara yang selanjutnya disebut Keputusan adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sedangkan Tindakan Administrasi Pemerintahan yang selanjutnya disebut Tindakan adalah perbuatan Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan konkret dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan.
Salah satu spirit UUAP yang termaktub dalam penjelasan umum dinyatakan : Keputusan dan/atau Tindakan terhadap Warga Masyarakat harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Pengawasan terhadap Keputusan dan/atau Tindakan merupakan pengujian terhadap perlakuan kepada Warga Masyarakat yang terlibat telah diperlakukan sesuai dengan hukum dan memperhatikan prinsip-prinsip perlindungan hukum yang secara efektif dapat dilakukan oleh lembaga negara dan Peradilan Tata Usaha Negara yang bebas dan mandiri. Dalam rangka memberikan jaminan pelindungan kepada setiap Warga Masyarakat, maka Undang-undang ini memungkinkan Warga Masyarakat mengajukan keberatan dan banding terhadap Keputusan dan/atau Tindakan, kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau Atasan Pejabat yang bersangkutan. Warga Masyarakat juga dapat mengajukan gugatan terhadap Keputusan dan/atau Tindakan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan kepada Peradilan Tata Usaha Negara, karena Undang-undang ini merupakan hukum materiil dari sistem Peradilan Tata Usaha Negara.
Dalam tataran operasional spirit tersebut diwujudkan dalam bentuk perumusan norma mengenai syarat syahnya sebuah keputusan yakni : ditetapkan oleh pejabat yang berwenang; dibuat sesuai prosedur; substansi yang sesuai dengan objek Keputusan serta didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan dan AUPB. Dengan berlakunya UUAP, Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam UU PTUN harus dimaknai sebagai: 1) penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual; 2) Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya; 3) berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan AUPB; 4) bersifat final dalam arti lebih luas; 5) Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum; dan/atau Keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat.
UU AP telah memberikan paradigma yang lebih memadai dalam tata kelola pemerintahan, antara lain : pertama, menguatnya peran Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN); kedua, semakin jelasnya hak untuk melakukan keberatan dan banding terhadap keputusan yang dianggap merugikan; ketiga, mengatur lebih jelas hak masyarakat dalam mengajukan gugatan. UUAP memperluas makna KTUN dan tindakan administrasi pemerintahan hingga ke lembaga legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya. Bahwa implikasi perluasan makna dalam praktek sehingga rekomendasi pun dianggap sebagai objek sengketa tata usaha negara. Dalam realitas empirik, rekomendasi dianggap memenuhi keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum, padahal suatu rekomendasi tak memenuhi syarat final sebagaimana selama ini pemahaman yang dianut mengenai KTUN. Paradigma baru yang dikenalkan UU AP adalah fiktif positif yang menggantikan prinsip fiktif negatif yang dianut UU PTUN. Berdasarkan UUAP, seorang pejabat publik atau pejabat pemerintahan memiliki batas waktu tertentu untuk menetapkan suatu keputusan atau melakukan suatu tindakan. Batas waktunya disesuaikan dengan perundang-undangan. Sesuai Pasal 53 ayat (3) UUAP, jika dalam batas waktu tertentu seorang pejabat tidak menetapkan keputusan atau tidak melakukan suatu tindakan atas permohonan yang diajukan sesuai prosedur, maka permohonan itu dianggap dikabulkan secara hukum.
Rumusan elemen final sebuah KTUN juga telah diuji dan diputusan dalam putusan Mahkamah Agung No. 482K/TUN/2016, majelis majelis hakim yang mengadili dan memutus perkara ini menyebutkan bahwa istilah ‘final’ harus dimaknai bahwa KTUN itu sudah menimbulkan akibat hukum bagi pihak yang dikenai keputusan atau pihak ketiga yang tidak dikenai putusan (vide Pasal 87 UUAP). Selain itu, majelis menyatakan bahwa dalam perkara tersebut Laporan Hasil Audit Investigasi yang menyatakan telah terjadi kerugian keuangan negara secara futuristic sesuai jiwa UU A dapat merugikan kepentingan penggugat, sehingga patut dipandang telah menimbulkan akibat hukum bagi penggugat.

*Tulisan ini bukan sebuah kajian menyeluruh, sehingga tidak bisa dijadikan sebagai rujukan ilmiah. untuk informasi lebih lanjut hubungi kami

Recommended Posts

Leave a Comment

Contact Us

We're not around right now. But you can send us an email and we'll get back to you, asap.

Start typing and press Enter to search