Alat Bukti Pengakuan Dalam Hukum Acara Perdata

 In Hukum Perdata

Hasil gambar untuk alat bukti pengakuanAlat-alat bukti yang sah menurut hukum acara perdata sebagaimana diatur dalam pasal 164 HIR/284 RBG, yaitu : surat-surat, saksi-saksi, pengakuan, sumpah, persangkaan hakim. Pengertian Pengakuan yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai alat bukti dijelaskab pada Pasal 174-176 HIR dan 1923 KUH Perdata adalah alat bukti berupa pernyataan/keterangan yang dikemukakan salah satu pihak kepada pihak lain dalam proses pemeriksaan yang dilakukan dimuka hakim dalam persidangan, dimana pengakuan tersebut berisi keterangan bahwa apa yang di dalilkan lawan benar sebagian atau seluruhnya. Pasal 1866 KUH Perdata dan Pasal 164 HIR meletakkan pengakuan pada urutan keempat mengenai alat bukti. Pengakuan yang bernilai sebagai alat bukti berdasarkan Pasal 1923 BW dan Pasal 174 HIR ialah (i) pernyataan atau keterangan yang disampaikan salah satu pihak kepada pihak lain dalam pemeriksaan suatu perkara; (ii) pernyataan atau keterangan tersebut diucapkan di muka hakim atau dalam persidangan; atau (iii) keterangan itu bersifat pengakuan (confession) bahwa apa yang dilakukan pihak lawan benar untuk sebagian atau seluruhnya.

Dalam Pasal 1923 dan Pasal 1925 KUH Perdata, serta Pasal 174 HIR diatur syarat formil dalam mengajukan pengakuan agar dapat dikatakan sah sebagai alat bukti, yaitu pengakuan harus dikemukakan dimuka Hakim dalam proses pemeriksaan di persidangan. Jadi dapat disimpulkan bahwa pengakuan yang dilakukan tidak dimuka hakim dan diluar persidangan tidak sah dan tidak memiliki nilai sebagai alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 1927 KUH Perdata dan Pasal 175 HIR. Dalam Pasal 1925 KUH Perdata diatur tentang siapa saja yang berhak memberikan pengakuan. Dalam dalam hal ini pihak yang paling berwenang memberikan pengakuan adalah Pihak Materiil (Principal) yaitu pihak yang berkedudukan sebagai penggugat atau tergugat. Hal ini adalah pengakuan yang paling baik karena yang mengaku adalah pihak yang paling tahu kejadian/fakta materiil yang sebenarnya. Selain pihak materiil, pihak lain yang dapat melakukan pengakuan adalah Kuasa Hukum pihak yang berperkara, namun pada hakekatnya pengakuan yang disampaikan adalah pengakuan dari para pihak yang bersengketa, sedangkan kuasa hukum hanya sebagai perantara untuk menyampaikan pengakuan tersebut.   Pengakuan yang sah sebagai alat bukti tidak dapat ditarik kembali, hal ini diatur dalam Pasal 1926 KUH Perdata. Pasal ini menjelaskan bahwa suatu pengakuan yang telah dilakukan dimuka hakim tidak dapat ditarik kembali kecuali dapat dibuktikan bahwa pengakuan tersebut disebabkan karena alasan kekhilafan pihak yang mengaku.

Pengakuan dapat terjadi di dalam persidangan dan di luar persidangan. Pengakuan dalam persidangan merupakan pernyataan kehendak untuk menyelesaikan sengketa yang disampaikan oleh pihak lawan dengan beberapa ketentuan antara lain : diucapkan di persidangan baik secara lisan maupun tertulis, dinyatakan dengan tegas dan tidak boleh diam-diam, merupakan keterangan yang membenarkan peristiwa, hak dan hubungan hukum yang diajukan oleh penggugat. Kekuatan pembuktian yang diucapkan dalam persidangan merupakan bukti sempurna dan menentukan walaupun melalui kuasa hukum, tidak dapat dicabut kembali, kecuali karena keliru mengenai fakta atau peristiwa kejadiannya, bukan kekeliruan mengenai hukumnya (vide pasal 174 HIR/311 RBG). Akibat hukumnya membebaskan penggugat untuk membuktikan lebih lanjut, sehingga hakim harus mengabulkan tuntutan penggugat. Pengakuan di luar persidangan merupakan bukti tidak langsung dan sebagai bukti petunjuk bagi hakim sehingga harus dibuktikan dengan alat bukti lain di persidangan. Kekuatan pembuktian di luar persidangan bersifat bebas terserah kepada pertimbangan hakim (vide pasal 175 HIR/312 RBG).

Pengakuan di persidangan dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni : pengakuan murni dan pengakuan tidak murni. Pengakuan murni (aveau pur et simple) merupakan pengakuan yang sifatnya sederhana dan sesuai sepenuhnya dengan tuntutan penggugat. Contohnya, penggugat menyatakan tergugat masih memiliki hutang sebesar Rp.5.000.000.000,- dan hal tersebut diakui oleh tergugat tanpa klausul apapun. Pengakuan tidak murni merupakan pengakuan yang disertai klausul, pengakuan ini dibedakan menjadi dua yakni : pengakuan dengan klausul (aveau complexe) adalah pengakuan yang disertai dengan keterangan tambahan yang bersifat membebaskan. Contohnya penggugat menyatakan bahwa tergugat telah membeli tanah dari penggugat sebesar Rp.5.000.000.000,- dan tergugat mengakui telah membeli tanah dari penggugat sebesar Rp.5.000.000.000,- dengan dibayar lunas; pengakuan dengan kualifikasi (aveau qualifie) adalah pengakuan yang disertai dengan sangkalan terhadap sebagian dari tuntutan. Contohnya, penggugat menyatakan bahwa tergugat telah membeli tanah dari penggugat sebesar Rp.5.000.000.000,- terhadap hal ini tergugat mengakui bahwa telah membeli tanah dari penggugat tetapi tidak seharga Rp.5.000.000.000,- melainkan seharga Rp Rp.4.500.000.000,-. Pengakuan dengan kualifikasi tersebut pada intinya merupakan jawaban tergugat yang sebagian terdiri dari pengakuan dan sebagian lagi merupakan sangkalan. Pengakuan dengan klausula maupun pengakuan dengan kualifikasi mengandung kesimpulan agar gugatan tidak dapat dikabulkan. Terhadap kedua macam pengakuan tersebut hakim harus menerimanya secara utuh dan penuh serta tidak boleh dipisah-pisahkan sebagaimana diatur dalam pasal 176 HIR/313 RBG.

oleh: Michael Agustin (Managing Partner MANP Lawyers Litigation & Corporate)

*Tulisan ini bukan merupakan kajian komprehensif terhadap sebuah perkara dan hanya bersifat subyektif, untuk informasi lebih lanjut silahkan menghubungi kami. 

 

Recommended Posts

Leave a Comment

Contact Us

We're not around right now. But you can send us an email and we'll get back to you, asap.

Start typing and press Enter to search