Aspek hukum perizinan dibidang Pariwisata

 In Hukum Tata Negara

Pemerintah Republik Indonesia telah memperkenalkan 10 Destinasi Wisata Baru yaitu : Danau Toba di Sumatera Utara, Tanjung Kelayang di Kepulauan Bangka Belitung, Tanjung Lesung di Banten, Kepulauan Seribu di Jakarta, Borobudur di Jawa Tengah, Bromo Tengger Semeru di Jawa Timur, Mandalika di Nusa Tenggara Barat, Labuan Bajo di Nusa Tenggara Timur, Wakatobi di Sulawesi Tenggara, dan Morotai di Maluku Utara. Menurut proyeksi Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia selama periode 2019 – 2024 diprediksikan investasi sektor pariwisata antara lain untuk membangun 120.000 hotel rooms, 15.000 restoran, 100 taman rekreasi, 100 operator diving, 100 marina, 100 Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), 100.000 homestay dengan melibatkan peran serta dunia usaha dan  UKM pariwisata. Dari sisi pendapatan negara target devisa diproyeksikan mencapai US$ 17.6 miliar dengan perhitungan capaian 16 juta wisman dikalikan rata-tata pengeluaran per kunjungan US$ 1.100 per wisman. Sedangkan untuk pergerakan wisatawan domestik terdapat 275 juta  Wisatawan Nusantara (wisnus) di tanah air.

Sepuluh destinasi prioritas tersebut atau sering disebut dengan 10 Bali baru memerlukan sebuah tata kelola kepariwisataan yang baik. Hal tersebut salah satunya ditunjang oleh keberadaan pemerintah, wisatawan dan pelaku usaha pariwisata diharapkan memiliki peran yang krusial dengan didukung aturan main dan standarisasi pengelolaan pariwisata. Sehingga prinsip-prinsip tata kelola pariwisata dapat terwujud dengan baik. Hal mendasar yang perlu menjadi pengetahuan umum bersama adalah perihal mengenai makna dan hal ihwal seputar pariwisata. Pengertian pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah. Sedangkan usaha pariwisata adalah usaha yang menyediakan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dan penyelenggaraan pariwisata. Usaha pariwisata tersebut digerakkan oleh pengusaha pariwisata yang merupakan orang atau sekelompok orang yang melakukan kegiatan usaha pariwisata. Usaha pariwisata meliputi, antara lain: daya tarik wisata; kawasan pariwisata; jasa transportasi wisata; jasa perjalanan wisata; jasa makanan dan minuman; penyediaan akomodasi; penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi; penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif, konferensi, dan pameran; jasa informasi pariwisata; jasa konsultan pariwisata; jasa pramuwisata; wisata tirta; dan spa.

Dalam rangka menjalankan usaha pariwisata dan prinsip-prinsip tata kelola kepariwisataan yang baik salah satunya diperlukan izin usaha pariwisata.  Selanjutnya perizinan pariwisata tersebut diwujudkan dalam bentuk Tanda Daftar Usaha Pariwisata (TDUP)  yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah dalam hal ini oleh Guberner, Bupati/Walikota dan Pemerintah Pusat dalam hal ini Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. TDUP tersebut diterbitkan oleh Pemerintah berdasarkan pertimbangan wilayah administratif serta apabila terdapat investasi dari penanaman modal asing. Dalam Perpres No. 44/2016, penanaman modal asing (PMA) dibatasi maksimal 67% di sektor pariwisata. Secara legal, kewajiban pelaku usaha pariwisata untuk mendafarkan perizinan usahanya diatur berdasarkan ketentuan pasal 15 Undang-undang Nomor 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan serta pasal 5 Peraturan Menteri Pariwisata Nomor No.10 tahun 2018. Dari aspek kemanfaatan bagi pelaku usaha pariwisata, perizinan memiliki makna penting yakni : sebagai sarana untuk membuktikan bahwa usaha pariwisata yang dikelola tidak melanggar hukum, sarana promosi usaha, syarat penunjang perkembangan usaha, kemudahan dalam mendapatkan mitra usaha. Dari sisi pemerintah semenjak diberlakukannya Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (“PP tentang OSS), tujuan dari ditetapkannya TDUP sebagai komitmen setelah terbitnya NIB bagi pelaku usaha pariwisata dalam pelaksanaan perizinan berusaha, ialah untuk menjamin kepastian hukum bagi pelaku usaha, dalam artian legalitas yang tersebut memberikan perlindungan dibawah payung hukum, berlaku sah dan mengikat berdasarkan hukum, serta merupakan alat bukti yang valid sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain itu TDUP berfungsi sebagai sumber informasi perizinan berusaha sektor pariwisata, sehingga data dari pemilik TDUP dapat menjadi acuan bagi pemerintah dalam melihat perkembangan sektor pariwisata lokal dan secara nasional.

Perizinan usaha pariwisata dapat diproses melalui sistem Online Single Submission (OSS) yang diyakini akan menjadi solusi bagi pelaku usaha yang ingin mendaftarkan izin usaha. Dengan adanya OSS, sekarang pengajuan izin usaha pariwisata untuk perusahaan perorangan, mikro, kecil, menengah dan besar, ataupun perusahaan lokal dan asing, ataupun untuk badan usaha dan badan hukum, diajukan melalui portal OSS. Dasar berlakunya OSS adalah Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (“PP tentang OSS) yang berlaku sejak Agustus tahun 2018 lalu. Setelah PP tentang OSS berlaku sudah ada beberapa peraturan pelaksana di sejumlah sektor usaha yang memperjelas proses pengajuan dan izin usaha yang diperlukan untuk melakukan kegiatan usaha di sektor tersebut. Kegiatan usaha yang berhubungan dengan sektor pariwisata, acuan pengajuan izin usahanya adalah Peraturan Menteri Pariwisata Nomor 10 Tahun 2018 Tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik Sektor Pariwisata (“Permenpar No.10/2018”).

Jenis perizinan usaha sektor pariwisata terdiri atas : Izin Usaha berupa TDUP; dan Izin Komersial atau Operasional berupa Sertifikat Usaha Pariwisata. Pemohon perizinan tersebut adalah: Pelaku Usaha perseorangan; dan Pelaku Usaha non perseorangan. Izin Usaha berupa TDUP wajib dimiliki oleh Pelaku Usaha yang telah mendapatkan NIB.  TDUP sebagaimana dimaksud berlaku selama Pelaku Usaha menjalankan usaha dan/atau kegiatannya. Dalam hal Pelaku Usaha menyelenggarakan lebih dari 1 (satu) usaha pariwisata di dalam satu lokasi dan satu manajemen, maka TDUP dapat diberikan dalam satu dokumen TDUP untuk keseluruhan usaha. TDUP berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia. Pelaku Usaha yang telah mendapatkan TDUP sebagaimana dimaksud dan akan mengembangkan usaha dan/atau kegiatan di lokasi lain, harus tetap memenuhi persyaratan Izin Lokasi, Izin Lingkungan, IMB, Izin Lokasi Perairan, dan Izin Pengelolaan Perairan di masing-masing wilayah tersebut. TDUP dalam bentuk Dokumen Elektronik yang berisi: NIB; bidang usaha; nama usaha pariwisata; lokasi usaha pariwisata; tanggal penerbitan TDUP; dan kode digital.

Izin Komersial atau Operasional berupa Sertifikat Usaha Pariwisata sebagaimana dimaksud wajib dimiliki oleh Pelaku Usaha yang telah mendapatkan NIB dan TDUP. Sertifikat Usaha Pariwisata berlaku selama 3 (tiga) tahun sejak tanggal diterbitkan serta dapat diperbaharui. Untuk usaha pariwisata yang telah terdapat Standar Usaha Pariwisata dan LSU Bidang Pariwisata, Sertifikat Usaha Pariwisata wajib dimiliki oleh pelaku usaha dengan ketentuan: untuk usaha besar wajib memiliki Sertifikat Usaha Pariwisata paling lambat 2 (dua) tahun sejak TDUP diterbitkan melalui sistem OSS; untuk usaha menengah wajib memiliki Sertifikat Usaha Pariwisata paling lambat 4 (empat) tahun sejak TDUP diterbitkan melalui sistem OSS; untuk usaha mikro dan kecil wajib memiliki Sertifikat Usaha Pariwisata paling lambat 6 (tahun) tahun sejak TDUP diterbitkan melalui sistem OSS.

 

Oleh: Michael Agustin (Managing Partner MANP Lawyers litigation & corporate)

*Tulisan ini merupakan opini pribadi dan bukan merupakan kajian menyeluruh terhadap sebuah perkara, untuk informasi lebih lanjut silahkan hubungi kami.

 

 

 

Recommended Posts

Leave a Comment

Contact Us

We're not around right now. But you can send us an email and we'll get back to you, asap.

Start typing and press Enter to search