Pailit atau PKPU Jika Perusahaan Kesulitan

 In Hukum Perdata

Putusan Pernyataan pailit mengubah status hukum seseorang menjadi tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum, menguasai, dan mengurus harta kekayaannya sejak putusan pernyataan pailit diucapkan”. Demikianlah isi dari paragraph 9 penjelasan umum dari Undang-undang nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan). Artinya debitor yang telah dinyatakan pailit sudah tidak lagi memiliki hak untuk mengelola harta kekayaan serta asetnya. Dengan adanya status tidak cakap melakukan perbuatan hukum, beberapa akibatnya adalah sebagai berikut:

  1. Tidak bisa membuat atau menandatangani perjanjian, karena berdasarkan ketentuan pasal 1320 cakap adalah syarat subyektif yang mana jika dilanggar maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan.

  2. Tidak bisa menjadi direksi atau komisaris sebuah perusahaan, karena berdasarkan ketentuan pasal 93 ayat (1) undang-undang nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan terbatas menyatakan bahwa syarat direksi haruslah orang yang cakap melakukan perbuatan hukum, dan tidak dinyatakan pailit.

  3. Tidak bisa memberi/menerima kuasa untuk bertindak untuk dan atas nama, karena secara prinsip memberi/menerima kuasa adalah sebuah perikatan kontrak yang menyaratkan kecakapan.

Keadaan tidak cakap melakukan perbuatan hukum ini akan berlaku hingga pernyataan pailit tersebut dicabut oleh hakim dan debitor pailit mengajukan rehabiltasi sebagaimana ketentuan pasal 215 UU Kepailitan. Akibat hukum yang cukup berat bagi debitor, apalagi bagi mereka yang masih memiliki harapan atas kelangsungan usahanya. Keadaan pailit itu berbeda dengan bangkrut, karena dinyatakan pailit itu tidak selalu dalam keadaan merugi meskipun sedang terlilit utang.

Namun bagaimana jika memang situasi debitor perorangan atau perusahaan memang sedang terpuruk karena tidak bisa beroperasi sebagai akibat keadaan bencana seperti covid-19 saat ini? Situasi saat ini bisa menempatkan seorang debitor ataupun perusahaan dalam keadaan insolvensi, atau yang dalam penjelasan pasal 57 ayat (1) “Yang dimaksud dengan “insolvensi” adalah keadaan tidak mampu membayar”. Membayar dalam hal ini diantaranya adalah:

  1. Gaji karyawan

  2. Utang kepada pihak lain

  3. Pajak

  4. Serta tagihan-tagihan dalam bentuk lain

Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya”. Demikianlah bunyi dari pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan, artinya Debitor atas inisiatif sendiri bisa mengajukan pailit karena sudah tidak sanggup lagi membayar utang.

Selain mengajukan pailit, Debitor yang berada dalam keadaan insolvensi juga dapat mengajukan permohonan restrukturisasi dan/atau penjadwalan ulang pembayaran utang melalui proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) sebagaimana ketentuan pasal 222 ayat (2) UU kepailitan “Debitor yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang, dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada Kreditor”.

Baik permohonan pailit maupun permohonan PKPU harus melalui seorang advokat sebagaimana ketentuan UU Kepailitan pasal 7 ayat (1) dan pasal 224, namun demikian keputusan terbesar untuk memilih pailit atau PKPU adalah kewenangan penuh dari debitor itu sendiri. Jika memang merasa sudah tidak mungkin lagi membayar utang dan/atau tidak memiliki harapan sama sekali untuk melanjutkan usaha debitor bisa mengajukan permohonan pailit. Namun, jika dirasa masih ada harapan untuk melakukan pembayaran utang dan/atau mengembangkan usahanya, debitor bisa mengajukan permohonan PKPU.

Jadi pasca pandemic covid-19 ini, debitor atau perusahaan yang mengalami insolvensi bisa melakukan konsultasi dengan advokat untuk menentukan langkah hukum yang lebih tepat, karena masing-masing memiliki resiko yang harus diterima oleh debitor.

oleh : Ardian Pratomo (Lawyer di MANP Lawyers litigation & Corporate)

*Tulisan ini adalah pendapat pribadi, bukan kajian ilmiah yang komprehensif terhadap suatu kasus. untuk mendapatkan informasi lebih lanjut silahkan menghubungi kami.

Recommended Posts

Leave a Comment

Contact Us

We're not around right now. But you can send us an email and we'll get back to you, asap.

Start typing and press Enter to search