Tidak Hanya Swasta, BUMN pun Bisa Dipailitkan

 In Hukum Penanaman Modal, Hukum Perdata

Dari total 308 pasal yang terkandung dalam UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), Pasal 2 ayat (5) menjadi hal yang paling menarik perhatian. Di dalamnya diatur tentang mekanisme kepailitan terhadap Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Walaupun secara substansi terbilang minim, Pasal 2 ayat (5) setidaknya menegaskan dua hal penting. Pertama, penegasan bahwa perusahaan plat merah yang bergerak di bidang kepentingan publik pun dapat dipailitkan jika memang memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh undang-undang.

UU Kepailitan dan PKPU menetapkan 3 (tiga) syarat untuk mengajukan permohonan pailit, yaitu (i) ada dua atau lebih kreditor; (ii) ada utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih; (iii) syarat pertama dan kedua dapat dibuktikan secara sederhana.

Kedua, Pasal 2 ayat (5) memberikan perlakukan khusus yakni permohonan pailit terhadap BUMN hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan (Menkeu). Sebenarnya, perlakuan khusus ini tidak hanya berlaku untuk BUMN, tetapi juga perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, atau dana pensiun.

Pada praktiknya, jumlah perkara permohonan pailit terhadap BUMN memang terbilang jarang jika dibandingkan dengan jumlah perkara permohonan pailit terhadap perusahaan swasta. Namun, dalam sejarah perkembangan hukum kepailitan nasional, terdapat beberapa perkara kepailitan BUMN yang menarik perhatian publik.

Salah satu kasus itu adalah permohonan pailit terhadap PT Dirgantara Indonesia (DI). Sekira 10 tahun yang lalu, permohonan ini diajukan oleh sejumlah karyawan perusahaan BUMN di bidang penerbangan tersebut. Dasar diajukannya permohonan pailit adalah tunggakan pembayaran hak pensiun ribuan karyawan.

Di pengadilan tingkat pertama, Pengadilan Niaga Jakarta mengabulkan permohonan pailit. Majelis hakim berpendapat karyawan berhak mengajukan permohonan pailit karena PT DI tidak termasuk kategori BUMN yang hanya dapat dipailitkan atas permohonan yang diajukan oleh Menkeu. Menurut majelis hakim, PT DI merupakan jenis BUMN yang terbagi atas saham.

Di tingkat kasasi, Mahkamah Agung (MA) menganulir putusan Pengadilan Niaga Jakarta. Majelis kasasi menegaskan PT DI adalah BUMN yang melaksanakan kegiatan kepentingan publik, sehingga kepailitan hanya dapat diajukan oleh Menkeu. Diakui majelis kasasi, PT DI memang terbagi atas saham, namun hal itu terpaksa dilakukan demi memenuhi ketentuan UU Perseroan Terbatas.

Berbeda kisah, permohonan pailit terhadap PT Istaka Karya (Persero) yang diajukan oleh Japan Asia Investment Company (JAIC) ditolak oleh majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta. PT Istaka Karya (Persero) menurut majelis hakim, menjalani kegiatan untuk kepentingan publik, keseluruhan modal dimiliki negara, dan tidak terbagi atas saham sehingga hanya dapat dipailitkan oleh Menkeu.

Di tingkat kasasi, putusannya berbalik 180 derajat. Majelis kasasi mengabulkan permohonan pailit JAIC karena PT Istaka Karya (Persero) dianggap bukan kategori BUMN yang menjalani kegiatan untuk kepentingan publik, keseluruhan modal dimiliki negara, dan tidak terbagi atas saham. Namun kemudian, majelis peninjauan kembali menganulir putusan kasasi yang berarti PT Istaka Karya (Persero) batal pailit.

Gambaran dua kasus di atas menunjukkan bahwa penerapan Pasal 2 ayat (5) terkait kepailitan BUMN masih menimbulkan pro dan kontra. Tidak hanya itu, pemahaman hakim terhadap Pasal 2 ayat (5) pun ternyata belum seragam, khususnya terkait kategori BUMN yang hanya dapat dipailitkan oleh Menkeu. Kondisi ini tentunya dapat dijadikan alasan untuk mendorong agar UU Kepailitan dan PKPU segera direvisi.

Recommended Posts

Leave a Comment

Contact Us

We're not around right now. But you can send us an email and we'll get back to you, asap.

Start typing and press Enter to search