INVESTASI VS LINGKUNGAN HIDUP

 In Hukum Tata Negara

“Indonesia harus menjadi negara yang ramah investasi” pernyataan yang disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang juga merupakan penjabaran visi Presiden Joko Widodo. Mengutip pemberitaan Media Indonesia tanggal 25 Juli 2019, realisasi investasi asing di Indonesia berada diangka 22%, masih kalah dari Vietnam (60%), Malaysia (43%), dan Filipina (25%). Kelemahan terbesar dalam upaya menarik investor asing adalah masalah perizinan yang belum efektif dan efisien. Berbagai upaya telah, sedang, dan akan dilakukan oleh Pemerintah untuk memperbaikinya. Namun dari beberapa upaya yang akan dilakukan, salah satu yang sedang dilakukan adalah mempercepat proses permohonan perizinan, hingga terakhir Menteri Agraria dan Tata Ruang membuat wacana untuk menghapuskan syarat IMB dan AMDAL. Karena memang proses ini yang cukup memakan waktu dan biaya. Hal ini berpotensi menimbulkan perdebatan, karena bagaimanapun juga bahwa AMDAL merupakan intrumen vital dalam upaya menjaga amanat Undang-undang nomor   32 tahun 1999 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

IMB dan AMDAL merupakan prasyarat dasar untuk melihat komitmen pengusaha dalam berkontribusi untuk menjamin kelestarian lingkungan hidup.meskipun demikian, penulis setuju jika mata rantai birokrasi harus dipotong agar lebih pendek, namun bukan berarti pula boleh melakukan kegiatan usaha dengan melanggar kaidah-kaidah hukum. Menghilangkan IMB dan AMDAL sama halnya dengan membuka peluang merusak lingkungan demi kepentingan investasi, namun yang paling prinsip adalah melanggar Undang-undang Lingkungan Hidup.

Memang benar bahwa di setiap Daerah sudah memiliki Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang mencakup juga zonasi Kawasan, yang semuanya ditetapkan dalam sebuah Peraturan Daerah. Ditingkat Menteri ada Peraturan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup nomor 24 Tahun 2018 tentang Pengecualian Kewajiban Menyusun AMDAL untuk Usaha dan atau Kegiatan yang Berlokasi di Daerah Kabupaten/Kota yang Memiliki RDTR, serta Peraturan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup nomor 69 tahun 2017 tentang Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Namun bukan berarti keberadaan aturan ini menjadikan AMDAL ini tidak perlu. Hal ini karena sifat dari AMDAL ini lebih spesifik dan khusus, sedangkan RDTR dan KLHS lebih bersifat umum. AMDAL adalah dasar pertanggungjawaban ketika terjadi masalah lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas usaha yang dilakukan. Pengecualian ini akan sangat bermanfaat untuk pembangunan-pembangunan sarana dan prasarana umum seperti tempat ibadah, sarana pendidikan dan lain-lain.

Yang penting untuk dilakukan sebenarnya bukan menghapus IMB dan AMDAL, karena dalam permen tersebut diatas telah jelas diatur tentang yang wajib menyusun AMDAL, artinya ada beberapa kegiatan usaha yang tidak wajib untuk menyusun AMDAL, namun demikian mereka tetap memiliki kewajiban untuk menyusun Upaya Kelola Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL). Hanya saja, UKL dan UPL yang merupakan bagian dari komitmen yang harus dipenuhi (jika membuat permohonan melalui OSS). Sehingga dalam hal ini yang bermasalah adalah birokrasi dan pelayanan public yang masih belum beranjak dari zona nyaman yang penuh dengan peluang kolusi. Salah satu cara yang paling tepat untuk menjadikan birokrasi pelayanan perizinan lebih efektif dan efisien adalah melakukan harmonisasi dan integrasi data dan aturan, serta menghilangkan prosedur-prosedur manual karena semua sangat memungkinkan dilakukan dengan teknologi digital.

Oleh: Ardian Pratomo (Lawyer di MANP Lawyers Litigation & Corporate)

*Tulisan ini adalah opini pribadi, Penulis bertanggung jawab terhadap isi seluruhnya. Untuk informasi lebih lanjut mengenai perizinan silahkan menghubungi kami. 

Recommended Posts

Leave a Comment

Contact Us

We're not around right now. But you can send us an email and we'll get back to you, asap.

Start typing and press Enter to search