ISO 37001 dan Pencegahan Tindak Pidana Korupsi oleh Korporasi

 In Hukum Pidana

Saat ini banyak perkara korupsi yang ditangani oleh KPK, Kepolisian dan Kejaksaaan melibatkan korporasi. Wakil Ketua KPK Alexander Marwata pernah mengungkapkan setidaknya 90 persen lebih kasus korupsi melibatkan korporasi. Keterlibatan korporasi tersebut tentunya memiliki konsekuensi dalam bentuk  pertanggungjawaban pidana. Secara historis, pertanggungjawaban pidana korporasi di Indonesia sebenarnya telah diberlakukan sejak tahun 1951 melalui UU Darurat Nomor 17 Tahun 1951 tentang Penimbunan Barang-Barang. Pasca tahun 1951 pertanggungjawaban korporasi telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan salah satunya telah diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tindak Pidana Korupsi).

Pasal 1 ayat (3) UUPTPK memaknai seseorang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi sehingga dalam konteks ini  korporasi merupakan subyek tindak pidana korupsi. Berdasarkan definisi tersebut, maka apabila kita hubungkan secara sistematis antar pasal dalam UUPTPK maka rumusan tindak pidana korupsi yang memasukkan unsur  setiap orang sebagai bagian dari delik antara lain diatur dalam beberapa perbuatan pidana antara lain : perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum yang dapat menyebabkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara (vide pasal 2 UUPTPK); penyalahgunaan kewenangan dalam jabatan atau kedudukan yang menyebabkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara (vide pasal 3 UUPTPK); pemberian suap dan hadiah karena jabatan (vide pasal 5,6,13,14 UUPTPK); perbuatan curang dalam pemborongan (vide pasal 7 UUPTPK). Selain itu, termasuk juga pembantuan atau permufakatan jahat yang dilakukan sehingga terjadinya tindak pidana korupsi sebagaimana diatur Pasal 15 dan Pasal 16 UUPTPK. Lebih lanjut, termasuk juga tindak pidana lain yang berhubungan dengan tindak pidana korupsi yaitu: mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 21 UU PTPK serta tidak memberikan atau memberikan keterangan secara tidak benar sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UUPTPK. Setiap orang dalam konteks rumusan tindak pidana korupsi sebagaimana terjabar tersebut didalamnya termasuk mengatur subyek hukum korporasi. Sehingga korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban sebagai subyek hukum dalam berbagai rumusan berbagai jenis tindak pidana korupsi tersebut.

Rumusan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi diatur secara tegas dalam Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yakni : tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama. Rumusan tersebut secara teknis operasional selanjutnya diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi. Pasal 4 Peraturan Mahkamah Agung tersebut mendefinisikan bahwa untuk dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana korporasi maka harus ada unsur kesalahan yang diantaranya : korporasi memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana tersebut atau tindak pidana itu dilakukan untuk kepentingan korporasi; korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana; atau korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana. Secara empiris menurut pendapat salah satu Komisioner KPK La Ode M Syarif sebagaimana diwartakan dalam laman Kompas tanggal 22 November 2018 menyatakan, ada empat unsur yang harus dipenuhi untuk menjerat korporasi dalam kasus korupsi. Pertama, apakah perbuatan itu pertama kali dilakukan atau tidak. Kedua, suatu korporasi bisa dijerat korupsi dilihat dari seberapa sering kebiasaan menyuap atau berbuat curang dalam perusahaan. Ketiga dari segi dampak, hanya untuk perusahaan atau lingkungan kecil atau untuk betul-betul besar. Keempat, ada komitmen atasan, peraturan internal untuk melarang terjadinya penyuapan dan kecurangan.

Tindak pidana korupsi tidak bisa semata-mata harus ditegakkan melalui pemberantasan saja namun perlu ada upaya pencegahan secara sistematis dan terstrukur serta diafirmasi melalui sebuah kebijakan dan tindakan nyata. Presiden Jokowi telah menerbitkan Inpres Nomor 10 tahun 2016 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi tahun 2016 dan Tahun 2017 (Inpres APPK). Artinya secara hakikat dalam Perpres tersebut terdapat komitmen yang bersifat simultan dan komperehensif yakni mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui 31 aksi. Inpres APPK tersebut berisi dua strategi besar yakni : strategi pencegahan dan strategi penegakan hukum. Strategi pencegahan terdiri dari 7 upaya serta strategi penegakan hukum terdiri dari 3 upaya. Seluruhnya dijabarkan menjadi 31 aksi pencegahan dan penegakan hukum.

ISO 37001 dan Pencegahan Tipikor

          Inpres APPK dalam rumusan strategi pencegahan tersebut salah satunya mengatur tentang upaya pengawasan sektor publik dan swasta. Upaya tersebut ditindaklanjuti melalui aksi peningkatan upaya pengendalian praktik gratifikasi dalam pelayanan publik. Aksi tersebut memiliki parameter untuk menilai kriteria dan ukuran keberhasilannya. Kriteria keberhasilan pengendalian praktik gratifikasi dalam pelayanan publik adalah adanya mekanisme pengendalian gratifikasi dalam pelayanan publik. Sedangkan ukuran keberhasilan pengendalian praktik gratifikasi dalam pelayanan publik adalah ditetapkannya Peraturan Pemerintah tentang pengendalian gratifikasi yang mengatur tentang batasan gratifikasi, sistem pengendalian gratifikasi, dan peran serta sektor swasta dan masyarakat dalam mencegah pemberian gratifikasi dalam pelayanan publik, terbentuknya unit pengendalian gratifikasi pada Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah.

Salah satu embrio pencegahan korupsi sebagai bagian dari pencegahan tindak pidana suap pada institusi pelayanan public adalah adanya Mekanisme Keluhan atau Whistle Blower Procedure yang telah diterapkan pada beberapa perusahaan multinasional dan perusahaan nasional di Indonesia. Apabila kita telaah lebih mendalam sektor swasta (korporasi) memiliki kontribusi dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi melalui pencegahan sebagaimana diamanatkan dalam Inpres APPK. Pencegahan dilakukan dengan cara tidak memberikan gratifikasi dalam pelayanan publik. Upaya untuk tidak memberikan gratifikasi oleh swasta kepada pelayan publik tentunya diperlukan seperangkat instrumen yang bersifat afirmatif dan aplikatif. Salah satunya adalah melalui penerapan ISO 37001, ISO ini di desain untuk membantu perusahaan untuk menyusun, menerapkan, memelihara dan memperbaiki program anti suap. Dalam sistem tersebut termasuk berisi serangkaian ukuran dan upaya kontrol yang mencerminkan pelaksanaan praktik-praktik baik program anti suap dalam skala global. Standar pencegahan anti suap tersebut disusun secara fleksibel dan dapat diimplementasikan oleh perusahaan swasta dalam skala besar, menengah dan kecil, institusi publik, serta organisasi non pemerintah.

Pemberlakuan ISO 37001 setidaknya memberikan beberapa manfaat antara lain : mencegah pidana korporasi, menyelamatkan orang-orang baik/talent di dalam perusahaan, membangun zona integritas, membangun budaya integritas, membangun citra korporasi. Selain hal tersebut manfaat lain dari penerapan ISO 37001 antara lain : sebuah manajemen anti suap didesain untuk diperkenalkan budaya anti suap dalam sebuah organisasi dengan kontrol yang tepat, serta akan meningkatkan kesempatan untuk mendeteksi potensi suap dan mengurangi kejadian suap; menjamin kepada manajemen, para investor, para pekerja, para pelanggan, dan para pemangku kepentingan bahwa organisasi telah mengambil langkah untuk mencegah, mendeteksi dan menyampaikan potensi resiko tindakan suap; membantu organisasi untuk mencegah biaya, resiko dan kerugian yang terkait dengan suap; mempromosikan keyakinan dan kepercayaan dalam bisnis serta mempromosikan reputasi organisasi; sertifikat ISO 37001 menunjukkan kepada para pelanggan, para pemangku kepentingan, para relasi bisnis, pembuat kebijakan, perorangan dan publik bahwa organisasi memiliki komitmen yang tinggi terhadap praktik-praktik bisnis yang baik; dalam perspektif media yang memiliki kepedulian besar terhadap praktik etika bisnis, pemberian sertifikat ISO 37001 memberikan keunggulan kompetitif yang sangat substantif.

Instrumen ISO 37001 yang berisi serangkaian upaya pencegahan tersebut dalam penerapannya tidak semudah yang dibayangkan dan mengalami beberapa tantangan. Tantangan tersebut berada pada tingkat organisasi, komitmen dari pemimpin serta program internal yang terkait dengan pihak ketiga di luar perusahaan. Tantangan di tingkat organisasi atau kelembagaan antara lain : penerapan serangkaian pengukuran kinerja yang diadopsi sebagai kebijakan anti suap, penunjukan seseorang untuk mengawasi kepatuhan, pelatihan bagi para pekerja, penyelenggaraan penilaian resiko, penerapan kontrol keuangan dan penjualan, penyelenggaraan pelaporan dan prosedur investigasi. Komitmen pimpinan organisasi menjadi salah satu tantangan apabila tidak memberikan dukungan dan umpan balik serta integritas dan komitmen dalam kepemimpinan. Kebijakan anti suap yang telah didesain dan dilaksanakan harus dipublikasikan secara baik kepada seluruh pekerja, pihak ketiga yang terkait dengan perusahaan antara lain : para kontraktor, para supplier/vendor dan rekan bisnis. Ketiga tantangan tersebut dapat diminimalisir apabila sejak awal telah memiliki hasil assesmen/profil pada setiap tingkatan sehingga organisasi mengetahui gap dan memiliki strategi yang tepat untuk menerapkan ISO 37001 dengan resistensi yang minim baik dari internal maupun eksternal.

Michael Agustin, SH (Managing Partner MANP Lawyers Litigation and Corporate)

*tulisan ini merupakan pendapat pribadi dan bukan merupakan kajian menyeluruh terhadap sebuah perkara, untuk mendapatkan informasi lebih lanjut silahkan menghubungi kami.

Recommended Posts

Leave a Comment

Contact Us

We're not around right now. But you can send us an email and we'll get back to you, asap.

Start typing and press Enter to search