mempertimbangkan pertanggungjawaban perdata terhadap subyek hukum artificial intelengence

 In Hukum Siber & Niaga-el

Perkembangan revolusi industri 4.0 tidak dapat dipungkiri telah membawa berbagai perubahan yang luar biasa kedalam dimensi kehidupan manusia. Dalam beberapa dekade terakhir segala dimensi kehidupan manusia telah terbantu oleh kehadiran revolusi industri 4.0, baik dari segi kualitas maupun efisiensi waktu. Transformasi industri 4.0 dijuluki sebagai era otomatisasi dan interkonektivitas pada saat ini sedang menuju puncaknya. Salah satu tulang punggung yang menopang kehadiran industri 4.0 adalah tren otomatisasi dan pertukaran data dalam teknologi manufaktur dan jasa yang ditandai hadirnya sistem cyber-physical, big data, block chain, internet of things (IoT), komputasi awan, komputasi kognitif dan teknologi printing 3 dimensi. Secara historis, terminologi industri 4.0 secara resmi hadir dan diperkenalkan di Jerman pada saat Hannover Fair pada tahun 2011. Selanjutnya terminologi tersebut semakin dikenal publik salah satunya melalui publikasi buku Revolusi Industri ke 4 yang disusun oleh ilmuwan dari Jerman yang bernama Klaus Schwab. Tulisan ini merupakan refleksi dari segi hukum mengenai hadirnya industry 4.0 terutama akan membahas terkait keberadaan Artificial Intelegence (AI).

Perkembangan revolusi industri 4.0 salah satunya telah merambah kedalam dunia hukum yang ditandai hadirnya platform hukum Law Geex Artificial Intelegence (AI).  Berdasarkan berita dari laman Tempo tanggal 27 Februari 2018, AI telah mengalahkan pengacara terkemuka untuk pertama kalinya dalam sebuah kompetisi memahami kontrak hukum. Algoritme tersebut dibuat oleh platform hukum  Law Geex AI yang berbasis di New York dan Tel Aviv, Israel. Hasil tersebut telah dianalisis oleh profesor hukum dari tiga perguruan tinggi, yaitu Stanford University, Duke University School of Law dan University of Southern California. LawGeex AI telah meninjau lima perjanjian NDA (Non-Disclosure Agreements) dibandingkan dengan 20 pengacara terlatih Amerika untuk mengevaluasi data yang sama. Dengan mengidentifikasi 30 masalah hukum, termasuk arbitrase, kerahasiaan, hubungan dan ganti rugi. Dalam waktu empat jam, AI mencapai tingkat akurasi 94 persen untuk memilih risiko. Sedangkan para pengacara dengan pengalaman puluhan tahun hanya mengelola tingkat akurasi sebesar 85 persen. AI yang bernama Robot LawGeex itu dapat menyelesaikan tugas hanya dalam waktu 26 menit saja, 66 menit lebih cepat dari rata-rata waktu manusia.

Pelajaran berharga yang bisa dipetik dari salah satu keunggulan kompetitif yang dimiliki oleh LawGeex AI secara substantif kuncinya berada pada big data dan algoritma sehingga dapat melakukan proses analisis dan pengambilan kesimpulan (keputusan) secara cepat dan tepat. Dalam konteks ini LawGeeex AI melakukan tugas-tugas dengan intensitas yang sering, volume tinggi, terkomputerisasi dengan handal dan tanpa mengalami kelelahan sehingga AI meng-automasi pola dan penemuan berulang melalui data (big data). Big Data memiliki arti lebih dari sekedar data dalam jumlah besar, Big Data mengacu pada data (informasi) yang memiliki volume, variasi, kecepatan, dan variabilitas tinggi yang diinvestasikan oleh organisasi dalam arsitektur sistem, peralatan, dan praktik yang dirancang khusus untuk menangani data. Sebagian besar data ini dihasilkan oleh pembuat AI itu sendiri, sementara data lain mungkin tersedia untuk umum atau dibeli dari sumber eksternal. AI beradaptasi melalui algoritma pembelajaran progresif guna memungkinkan data melakukan pemrograman. AI menemukan struktur dan keteraturan dalam data sehingga algoritma memperoleh pola dalam bentuk klasifikasi atau prediksi. Salah satu variable penunjang untuk menggunakan Big Data dengan baik, maka sebuah entitas harus mengembangkan algoritma. Algoritma adalah seperangkat aturan atau prosedur yang harus diikuti oleh mesin. Algoritma inilah yang memungkinkan sebuah mesin untuk memproses sejumlah data dengan cepat, yang mungkin tidak mampu diproses atau dipahami manusia dalam waktu dan dengan cara yang masuk akal sehingga kinerja dan keakuratan algoritma sangat penting.

Jenis AI

Tipologi AI menurut Nick Bostrom dapat dikategorikan menjadi 3 macam kecerdasan buatan, yaitu : pertama, yang disebut dengan Artificial Narrow Intelligence (ANI) atau AI lemah, sistem AI yang dirancang dan dilatih untuk tugas tertentu sebagai asisten pribadi virtual. Kedua, Artificial General Intelligence (AGI) atau AI kuat bisa disebut juga dengan AI setingkat manusia yaitu mahluk hidup yang memiliki kemampuan setara dengan yang dimiliki manusia, karena itu mesin tersebut dapat belajar dan tampil sesuai dengan tata cara manusia sehingga tidak dapat dibedakan dari manusia. Ketiga, Artificial Super Intelligence (ASI) yaitu teknologi kecerdasan buatan yang sengaja dibuat untuk melampaui kemampuan manusia. ASI dapat didefinisikan sebagai kecerdasan apa pun yang melebihi kinerja kognitif manusia dan terjadi pada hampir semua bidang minat. Menurut Arent Hintze seorang professor biologi integratif dan ilmu komputer dan teknik dari Michigan State University membuat kategori AI menjadi 4 (empat) macam, yakni : tipe 1 reactive machines AI, jenis ini merupakan AI yang paling sederhana. Reactive machines AI menanggapi situasi yang sama dengan cara yang persis sama, setiap saat. AI ini dapat mengidentifikasi bagian-bagian sebuah obyek dan membuat prediksi, namun tidak memiliki ingatan dan tidak dapat menggunakan pengalaman masa lalu untuk memberi tahun langkah berikutnya. Hal ini menganalisis kemungkinan langkah lawan dan dirinya sendiri serta memilih langkah paling strategis. AI tersebut dirancang untuk tujuan yang sempit dan tidak dapat dengan mudah dapat diterapkan pada situasi lain. Contohnya adanya Deep Blue program catur IBM, Google GOGO. Tipe 2 limited memory AI, AI ini dapat melihat ke masa lalu, namun tidak melakukan penyimpanan memory. Mesin limited memory tidak bisa membangun memori atau “belajar” dari pengalaman masa lalu. Intinya AI dapat menggunakan pengalaman masa lalu untuk menginformasikan keputusan masa depan. Beberapa fungsi pengambilan keputusan serta pengamatan untuk menginformasikan tindakan yang terjadi di masa depan yang tidak terlalu jauh. Pengalaman ini tidak dapat disimpan secara permanen, contohnya : self driving AI. Tipe 3 theory of mind AI, AI tipe ini mengacu pada gagasan bahwa sebuah mesin dapat mengenali bahwa orang lain yang berinteraksi dengannya memiliki pikiran, perasaan, dan harapan. Mesin yang disematkan pada AI tipe 3 dapat memahami pikiran, perasaan, dan harapan orang lain, dan dapat menyesuaikan tingkah lakunya sendiri. Secara psikologi hal ini mengacu pada pengertian bahwa orang lain memiliki keyakinan, keinginan sendiri dan niat yang mempengaruhi keputusan yang mereka buat, namun AI tipe ini belum ada. Tipe 4 self awareness AI, sistem AI dalam kategori ini memiliki rasa diri, memiliki kesadaran, mesin dengan kesadaran diri memahami keadaan mereka saat ini dan dapat menggunakan informasi untuk menyimpulkan apa tang dirasakan oleh orang lain, namun AI tipe ini belum ada.

Kehadiran AI dalam dunia hukum tentunya bisa menjadi peluang dan tantangan bagi praktisi hukum. Peluang tersebut terasa dengan adanya kemudahan, efisiensi dan efektivitas dalam membantu pekerjaan hukum yang bersifat non litigasi maupun sebagai salah satu sumber data untuk mempersiapkan pekerjaan dalam ranah litigasi. Tantangan kedepan kehadiran AI mampu mendisrupsi beberapa pekerjaan hukum yang secara konvensional masih dilakukan oleh profesi hukum. Aksioma hadirnya Law Geex Artificial Intelegence (AI) merupakan lonceng penanda yang menegaskan bahwa disrupsi bagi profesi hukum sudah hadir didepan mata. Terlepas dari praktik diskursif mengenai peluang dan tantangan AI, kita perlu melihat dari segi hukum mengenai keberadaan AI dan output product-nya dari aspek subyek hukum, perbuatan hukum dan konsekuensi hukumnya apabila terjadi kasus hukum, mengingat belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai subyek hukum AI.

AI dalam ranah hukum

Untuk mengetahui tentang AI secara awal, paling tidak berangkat dari sebuah pendefinisian mengenai AI. H. A. Simon mendefinisikan AI sebagai kecerdasan buatan masuk dalam kawasan penelitian, aplikasi, dan instruksi yang terkait dengan pemrograman komputer untuk melakukan sesuatu yang dalam pandangan manusia adalah cerdas. Selanjutnya, Rich and Knight mendefinisikan bahwa kecerdasan buatan merupakan sebuah studi tentang bagaimana membuat komputer melakukan hal-hal yang pada saat ini dapat dilakukan lebih baik oleh manusia. Pada intinya berdasarkan apa yang telah disampaikan oleh kedua ahli tersebut, pola kerja AI mengacu pada simulasi kecerdasan manusia yang selanjutnya diduplikasi kedalam mesin yang telah diprogam untuk berpikir seperti manusia dan meniru tindakannya. Pola kerja manusia juga dapat diterapkan pada mesin apapun yang menunjukkan sifat-sifat yang terkait dengan pikiran manusia, didalamnya termasuk proses pembelajaran melalui perolehan informasi dan aturan penggunaan informasi, penalaran hukum dengan menggunakan aturan untuk mencapai perkiraan kesimpulan yang pasti serta evaluasi diri. Hal lain yang dapat dilakukan oleh AI adalah kemampuannya untuk merasionalisasi dan mengambil tindakan yang memiliki peluang terbaik untuk mencapai tujuan tertentu terutama dalam pengambilan pilihan atau keputusan. Pola kerja yang dilakukan oleh AI pada intinya merupakan duplikasi pola perilaku manusia dengan ditunjang oleh big data serta algoritma. Merujuk pada success story LawGeex AI, muncul beberapa pertanyaan mendasar antara lain : apakah AI tersebut merupakan subyek hukum? apakah perbuatan AI tersebut memiliki konsekuensi dan pertanggungjawaban secara hukum ?

Apakah AI tersebut merupakan subyek hukum atau bukan, secara konseptual bisa kita lihat dari teori subyek hukum yang ditulis oleh R. Soeroso dengan beberapa kriteria sebagai berikut : sesuatu yang menurut hukum berhak/berwenang untuk melakukan perbuatan hukum atau siapa yang mempunyai hak dan cakap untuk bertindak dalam hukum; sesuatu pendukung hak yang menurut hukum berwenang/berkuasa bertindak menjadi pendukung hak (rechtbevoegd heid); segala sesuatu yang menurut hukum mempunyai hak dan kewajiban. Berdasarkan kriteria yang disampaikan oleh R.Soeroso pada intinya terdapat dua hal yang sifatnya mendasar yang melekat pada subyek hukum yakni perbuatan hukum, kewenangan bertindak serta hak dan kewajiban. Untuk mengidentifikasi subyek hukum salah satunya diawali dari perbuatan hukum (pola kerja). Pola kerja AI mengacu pada simulasi kecerdasan manusia yang selanjutnya diduplikasi kedalam mesin yang diprogam untuk berpikir seperti manusia dan meniru tindakan manusia. Simulasi dan duplikasi merupakan bentuk perbuatan yang bersifat artifisial, apabila kita menggunakan analogi badan hukum sebagai subyek hukum artifisial juga melakukan perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Mengenai kewenangan, sebagai subyek yang bersifat otonom maka perlu dilihat secara komperehensif berdasarkan sumber kewenangannya. Dalam konteks ini ada pemilik AI dan AI, AI dan pemilik AI memiliki keterkaitan yang erat dalam melahirkan sebuah wewenang. Mengenai hak dan kewajiban maka merujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk mengukur parameter hak dan kewajiban subyek hukum. Mengingat belum ada produk peraturan perundang-undangan yang secara spesifik mengatur tentang hak dan kewajiban AI, kita bisa menggunakan metode penafsiran analogi untuk mengukur bentuk hak dan pertanggungjawabannya. Sebagai sebuah subyek hukum artifisial, kedepan keberadaan AI bisa diformulasikan  dalam wujud badan hukum atau entitas baru.

Pembahasan mengenai konsekuensi perbuatan hukum subyek artifisial AI paling tidak kita mengacu pada teori perbuatan hukum dari R.Soeroso yakni : perbuatan hukum adalah perbuatan subyek hukum (manusia atau badan hukum) yang akibatnya diatur oleh hukum, karena akibat itu bisa dianggap sebagai kehendak dari yang melakukan hukum. Perbuatan hukum baru terjadi apabila ada pernyataan kehendak sehingga kehendak dari yang melakukan perbuatan itu menjadi unsur pokok sebuah perbuatan hukum. Perbuatan hukum terdiri dari perbuatan hukum sepihak dan perbuatan hukum dua pihak. Perbuatan hukum sepihak adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu pihak saja dan menimbulkan hak dan kewajiban satu pihak pula. Perbuatan hukum dua pihak, adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua pihak dan menimbulkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak (timbal balik). Secara empiris proses analisis NDA seperti yang dilakukan oleh LawGeex AI merupakan sebuah perbuatan hukum sepihak dan menimbulkan hak dan kewajiban. Kesimpulan yang diperoleh melalui serangkaian proses analisis memiliki konsekuensi hak dan kewajiban apabila saran dan rekomendasi dari kesimpulan tersebut dipergunakan oleh pengguna. Selain itu penggunaan saran dan rekomendasi tersebut memiliki akibat hukum bagi subyek hukum AI dan penggunanya.

Hak dan kewajiban yang inheren dalam sebuah perbuatan hukum memiliki konsekuensi pertanggungjawaban atas perbuatan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum tersebut. Pertanggungjawaban hukum tersebut salah satunya adalah pertanggungjawaban keperdataan yang timbul dari sebuah perbuatan melawan hukum di bidang hukum perdata. Dalam hukum perdata pertanggungjawaban atas perbuatan melawan hukum diatur dalam pasal 1365 sampai dengan 1380 KUHPerdata. Tanggung jawab perbuatan melawan hukum hadir bertujuan untuk melindungi hak-hak seseorang yang menggariskan hak-hak dan kewajiban-kewajiban saat seseorang melakukan perbuatan baik kelalaian atau kesalahan atau melukai orang lain serta perbuatan tersebut menimbulkan kerugian bagi orang lain. Perbuatan melawan hukum merupakan bentuk perikatan yang lahir dari undang-undang yang didasarkan atas perbuatan manusia yang melanggar ketentuan hukum (Gunawan Wijaya dan Kartini Mulyadi 2003:81).

Berdasarkan hal tersebut dalam konteks hukum perdata dengan menggunakan penafsiran yang bersifat analogis apabila dikaji mengenai pertanggungjawaban subyek hukum AI, konstruksi norma paling mendekati adalah sebagaimana diatur dalam pasal 1368 dan pasal 1367 ayat (1) dan ayat (3) KUHPerdata.  Berdasarkan rumusan kerangka normatif sebagaimana diatur dalam pasal 1367 ayat (1) hubungan antara AI dengan pemilik AI memiliki pola relasi secara analogis hampir sama dalam konteks tanggung gugat terhadap seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada dibawah pengawasannya. Sederhananya, seseorang bertanggung jawab secara perdata atas kerugian akibat pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain yang menjadi tanggungannya atau disebebakan oleh barang-barang yang berada dibawah pengawasannya sedangkan dalam pasal 1367 ayat (3) antara  pekerja dengan majikan. Secara keperdataan, konsep pertanggungjawaban dalam pasal 1367 ayat (1) pembagian beban pertanggungjawaban atas kerugian yang disebabkan oleh pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain yang menjadi tanggungannya. Dalam hal ini AI sebagai subyek hukum artifisial apabila melakukan sebuah perbuatan melanggar hukum maka pemilik AI juga dapat diminta pertanggungjawaban secara perdata. Sedangkan konsep pertanggungjawaban dalam pasal 1367 ayat (3) merupakan bentuk pertanggungjawaban majikan dan orang yang mewakilkan urusannya terhadap orang yang dipekerjakannya. Dalam hal ini AI sebagai subyek hukum artifisial merupakan pekerja yang menerima pekerjaan dari pemilik AI (pemberi kerja) sehingga. apabila AI melakukan sebuah perbuatan melanggar hukum maka pemilik AI selaku pemberi kerja dapat dimintakan pertanggungjawaban. Hubungan AI dengan pemilik dianalogikan sebagai hubungan antara satwa peliharaan dengan pemilikinya (vide pasal 1368 KUPerdata). Berdasarkan rumusan kerangka normatif sebagaimana diatur dalam pasal 1368 KUHPerdata hubungan antara AI dengan pemilik secara analogis memiliki pola relasi hampir sama antara pemilik satwa peliharaan dengan pemilik atau pemakainya. Secara keperdataan, apabila satwa peliharaan menimbulkan kerugian baik ketika berada dalam pengawasan pemilik atau pemakainya, atau apabila satwa tersebut tersesat dan terlepas dari pengawasan, maka pertanggungjawaban beban kerugian tersebut melekat pada pemilik satwa atau pemakainya. Dalam konteks ini, AI merupakan subyek hukum dalam pengawasan dan kepemilikan pemilik AI atau pemakai AI yang selanjutnya dipergunakan untuk kepentingan dan tujuan tertentu bagi orang lain. Sebagai subyek hukum artifisial yang memiliki sifat otonom apabila AI melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi orang lain atau tindakan-tindakan diluar perkiraan maka pemilik AI dapat diminta pertanggungjawaban secara keperdataan.

Inovasi teknologi dan kehadiran AI merupakan sebuah keniscayaan yang harus diterima dalam era industri 4.0. Kehadiran AI dapat menjadi penunjang kerja-kerja dibidang hukum khususnya kepengacaraan terutama dalam proses penyelesaian perkara hukum maupun review dan drafting sebuah dokumen hukum. Adanya beberapa lubang kecil yang belum mampu ditutup oleh terbitnya norma hukum yang responsif diperlukan kajian yang komperehensif dan intensif. Secara keperdataan kehadiran AI perlu dielaborasi secara mendalam menyangkut keberadaannya sebagai subyek hukum dan akibat yang perlu direspon oleh norma hukum dari perbuatan yang dilakukan oleh AI. AI bisa saja ditempatkan sebagai entitas baru subyek hukum artifisial (buatan) namun bisa juga diposisikan sebagai barang yang keberadaan dan pertanggungjawabannya menjadi wewenang pemilik. Hal lain yang perlu menjadi renungan bersama para advokat dan praktisi hukum bahwa marwah officium nobile profesi advokat tidak dapat digantikan melalui proses enkripsi yang mengubah nilai kehormatan menjadi terhormat secara artifisial.

Oleh: Michael Agustin (Managing Partner MANP Lawyers litigation & corporate)

*Tulisan ini merupakan opini pribadi dan bukan merupakan kajian menyeluruh terhadap sebuah perkara, untuk informasi lebih lanjut silahkan hubungi kami.

Recent Posts

Leave a Comment

Contact Us

We're not around right now. But you can send us an email and we'll get back to you, asap.

Start typing and press Enter to search