Lembaga Sekestrasi sebagai Upaya Lindung Nilai Obyek Fidusia

 In Hukum Perdata

Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 18/PUU-XVII/2019, menyatakan keberlakuan Pasal 15 ayat (2) Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU Fidusia), khususnya sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Rumusan norma yang diatur dalam UU Jaminan Fidusia yaitu pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) yang diajukan oleh Pemohon didalilkan bertentangan dengan konstitusi khususnya Pasal 28D ayat (1),  Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4). Atas putusan tersebut, MK telah memberikan penafsiran baru terhadap norma Pasal 15 ayat (2) UU Jaminan Fidusia, khususnya frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” hanya dapat dikatakan konstitusional sepanjang dimaknai bahwa terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang telah terjadinya “cidera janji” (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. MK juga memberikan penafsiran baru terhadap norma Pasal 15 ayat (3) UU Fidusia khususnya frasa “cidera janji” hanya dapat dikatakan konstitusional sepanjang dimaknai bahwa adanya cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 18/PUU-XVII/2019 yang telah memberikan penafsiran baru terhadap Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU Fidusia diprediksikan kedepannya menimbulkan sejumlah dampak. Dampak tersebut tidak hanya bagi lembaga pembiayaan yang tidak dapat lagi melakukan eksekusi secara serta merta (parate executie) terhadap jaminan kebendaan bergerak berdasarkan akta fidusia jika suatu saat debitur melakukan wanprestasi, namun hal tersebut juga berpotensi menimbulkan meningkatnya jumlah perkara baru bagi Pengadilan Negeri sehingga bertentangan dengan proses peradilan yang sederhana, cepat, dan memiliki kepastian hukum. Dari sisi hukum material, peningkatan jumlah perkara tersebut setidaknya lahir dari “cidera janji” yang tidak dapat ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji. Dalam konteks ini ada kemungkinan para pihak akan men-challenge ukuran cidera janji melalui upaya hukum yang tersedia di Pengadilan untuk menentukan ada atau tidaknya cidera janji.

Selain itu, apabila merujuk pada perjanjian kredit yang telah  ditandatangani antara kreditur dengan debitur dimana salah satu klausulnya mengatur tentang domisili hukum khususnya dengan pilihan domisili Arbitrase maka akan menimbulkan dampak biaya penyelesaian perkara yang harus ditanggung oleh kreditur maupun debitur. Pasca putusan arbitrase juga harus mendaftarkan ke Pengadilan Negeri agar putusan tersebut memiliki kekuatan eksekutorial. Walaupun dalam pertimbangan hukumnya, MK juga memberikan semacam pedoman terkait dengan bagaimana mekanisme “eksekutorial” dalam sengketa keperdataan. Menurut MK, sertifikat fidusia mempunyai titel eksekutorial yang memberikan arti dapat dilaksanakan sebagaimana sebuah putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, namun prosedur atau tata-cara eksekusi terhadap sertifikat fidusia dimaksud harus mengikuti tata-cara pelaksanaan eksekusi sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 196 HIR atau Pasal 208 RBG. Dalam bahasa sederhana, eksekusi tidak boleh dilakukan sendiri oleh penerima fidusia melainkan harus dengan mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri. Penyelesaian melaui insitusi Pengadilan dan Arbitrase juga masih membuka ruang kepada para pihak untuk mengajukan upaya hukum sehingga dalam konteks ini ada  sphere waktu yang harus disediakan dan ditanggung oleh para pihak untuk menunggu putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dan dapat dieksekusi. Kedepan pasca lahirnya putusan MK tersebut perlu dirumuskan upaya perlindungan obyek yang telah diperjanjikan dalam perjanjian fidusia serta mekanisme prosedural yang sama-sama menguntungkan serta melindungi hak-hak kreditur dan debitur.

Lembaga sekestrasi

Salah satu upaya perlindungan obyek sertifikat jaminan fidusia (benda bergerak) dapat ditempuh dengan mengoptimalkan lembaga sekestrasi yang keberadaannya diatur dalam KUHPerdata. Penitipan barang melalui lembaga sekestrasi diatur dalam Buku III Bab Ke-sebelas Bagian Ke-tiga, mulai dari pasal 1730 sampai dengan pasal 1739 KUHPerdata. Definisi dari sekestrasi disebutkan dalam Pasal 1730 KUHPerdata yang berbunyi: ”sekestrasi ialah penitipan barang tentang mana ada perselisihan, ditangannya seorang pihak ketiga yang mengikat diri untuk, setelah perselisihan itu diputus, mengembalikan barang itu kepada siapa yang akan dinyatakan berhak, beserta hasil- hasilnya. Penitipan ini ada yang terjadi dengan perjanjian dan ada pula yang dilakukan atas perintah Hakim”. Peristiwa penitipan barang dalam lembaga sekestrasi tersebut muncul karena adanya perselisihan sehingga hal inilah yang membedakan dengan penitipan murni. Kemudian ada hak dan kewajiban selama masa penitipan dalam rangka proses penyelesaian perselisihan tersebut selama obyek penitipan dikelola oleh pihak ketiga. Jenis penitipan barang melalui lembaga sekestrasi ini terdiri atas dua macam, yaitu: sekestrasi yang terjadi dengan perjanjian yakni apabila barang yang menjadi sengketa diserahkan kepada seorang pihak ketiga oleh satu orang atau lebih secara sukarela (pasal 1731 KUHPerdata) serta sekestrasi atas perintah Hakim
yakni sekestrasi yang terjadi apabila Hakim memerintahkan supaya suatu barang tentang mana ada sengketa, dititipkan kepada seorang (Pasal 1736 KUHPerdata). Hakim dapat memerintahkan sekestrasi terhadap beberapa hal sebagai berikut (Pasal 1738 KUHPerdata): barang-barang bergerak yang telah disita ditangan seorang berutang (debitur); suatu barang bergerak maupun tidak bergerak, tentang mana hak miliknya atau hak penguasaannya menjadi persengketaan; barang-barang yang ditawarkan oleh seorang berutang (debitur) untuk melunasi utangnya. Penyitaan dalam konteks pasal 1738 KUHPerdata yang disebutkan adalah penyitaan conservatoir yang telah dilakukan atas permintaan seorang penggugat. Sedangkan penawaran barang-barang dalam konteks pasal 1738 KUHPerdata oleh seorang debitur kepada kreditornya untuk melunasi utangnya dilakukan dalam hal kreditur itu menolak pembayaran yang akan dilakukan debiturnya, sehingga debitur ini terpaksa meminta bantuan seorang juru sita atau notaris untuk menawarkan barang atau uang tersebut (secara resmi) kepada kreditor tersebut. Apabila penawaran tersebut ditolak oleh kreditur, maka barang atau uang tersebut dapat dititipkan di kepaniteraan Pengadilan atau kepada seorang yang ditunjuk oleh Hakim. Perbuatan ini akan disusul oleh suatu gugatan dari debitur tersebut untuk menyatakan sah penitipan tersebut, dan dengan disahkannya penitipan itu, maka debitur dibebaskan dari utangnya.

Dalam realitas empirik lembaga sekestrasi beberapa kali dipraktikkan dalam proses peradilan di Pengadilan Negeri Klaten sebagaimana tercantum dalam putusan Nomor 46/Pdt/G/1990/PN.KLT dan Putusan Nomor 50/Pdt/G/1988/PN.KLT. Dalam putusan Nomor 46/Pdt/G/1990/PN.KLT menggunakan model sekestrasi berdasarkan persetujuan pihak-pihak yang bersengketa. Sekestrasi ini dapat diajukan kapan saja sebelum putusan dijatuhkan. Bahkan sekestrasi ini ada yang terjadi di luar pengadilan sebelum perkara didaftarkan. Sementara itu, dalam Putusan Nomor 50/Pdt/G/1988/PN.KLT merupakan model  sekestrasi atas perintah Hakim. Meskipun dalam hal ini sekestrasi atas perintah hakim, namun hakim tidak dapat secara langsung memerintahkan untuk dilaksanakannya sekestrasi melainkan harus ada permohonan terlebih dahulu dari para pihak. Kedua model sekestrasi ini terjadi ketika perkara telah masuk ke dalam ranah peradilan. Dalam KUH Perdata tidak diatur mengenai sekestrasi campuran. Perihal irisan antara Pasal 1730-1739 KUHPer dengan Pasal 508 RV, Pasal 197 ayat (9) HIR keduanya tidak memiliki irisan sebab walaupun pelaksanaan keduanya berada pada satu proses namun kedua peristiwa tersebut terpisah dimana sekestrasi terjadi setelah sita jaminan dilaksanakan.

Sekestrasi Obyek Fidusia

Walaupun sertifikat fidusia memiliki sifat parate executie namun berdasarkan putusan MK prosedur atau tata-cara eksekusi terhadap sertifikat fidusia dimaksud harus mengikuti tata-cara pelaksanaan eksekusi sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 196 HIR atau Pasal 208 RBG. Seperti kita ketahui bersama upaya untuk mewujudkan peradilan yang cepat, sederhana dan biaya murah telah ditempuh oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia salah satunya melaui e-court dan e-litigation. Namun secara faktual proses penyelesaian perkara tetap memerlukan waktu, dalam konteks bisnis waktu tersebut berkorelasi terhadap penyusutan nilai barang bergerak yang menjadi obyek Sertifikat Jaminan Fidusia. Barang bergerak yang tidak dikuasai oleh kreditur mengakibatkan tidak ada kepastian hukum atas jaminan lindung nilai terhadap kreditur. Sementara, barang bergerak yang penguasaannya masih berada di tangan debitur secara hukum status kepemilikannya masih dalam keadaan status quo karena belum ada kesepakatan antara kreditur dengan debitur perihal wanprestasi serta belum ada putusan dari Pengadilan tentang siapa yang berhak atas barang bergerak tersebut. Sehingga berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 1738 KUHPerdata suatu barang bergerak maupun tidak bergerak, tentang mana hak miliknya atau hak penguasaannya masih menjadi pokok persengketaan. Keberadaan Lembaga sekestrasi dapat difungsikan kembali untuk melindungi hak-hak debitur serta kreditur. Secara teknis sekestrasi tersebut dapat dilaksanakan sebelum sidang pokok perkara tentang cidera janji dan status kepemilikan barang bergerak.sSekestrasi diajukan ke Pengadilan berdasarkan prinsip forum acquisitur rei atas permohonan kreditur apabila obyek sertifikat jaminan fidusia masih berada di tangan debitur serta atas permohonan debitur apabila kreditur menempuh upaya yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan ketika menguasai obyek sertifikat jaminan fidusia. Selanjutnya melalui perintah hakim obyek sertifikat jaminan fidusia tersebut agar disimpan oleh Pengadilan serta digelar sidang pokok perkara untuk menentukan ada/tidaknya wanprestasi serta status kepemilikan obyek sertifikat jaminan fidusia dan sisa nilai utang piutang antara kreditur dengan debitur. Sekestrasi dalam hal ini menjadi penting karena secara hukum suatu barang bergerak mendapatkan jaminan dan perlindungan hukum serta secara bisnis terdapat jaminan lindung nilai atas nilai ekonomis terhadap barang bergerak tersebut. Hal lain yang perlu menjadi concern kita bersama adalah menyangkut nilai sengketa dibawah Rp.200 juta. Apabila nilai sengketa yang timbul dari obyek sertifikat jaminan fidusia dibawah Rp.200 juta maka dapat ditempuh gugatan sederhana atau Small Claim Court serta tetap memfungsikan lembaga sekestrasi. Small Claim Court  adalah tata cara pemeriksaan di persidangan terhadap gugatan perdata dengan nilai gugatan materil paling banyak Rp 200 juta yang diselesaikan dengan tata cara dan pembuktiannya sederhana sebagaimana diatur dalam PERMA No. 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana. Walaupun obyek sertifikat jaminan fidusia secara hukum terlindungi melalui lembaga sekestrasi selama proses sengketa namun  diharapkan perlindungan hukum tersebut berbanding lurus dengan lindung nilai barang bergerak. Critical point yang lain pasca putusan MK akan baik debitur maupun kreditur akan memerlukan ruang dan waktu yang signifikan untuk menguji cidera janji sampai  dengan lahirnya putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sehingga memiliki kekuatan eksekutorial. Putusan tersebut tidak serta merta bisa lahir dari sebuah rangkaian proses hukum yang murah,cepat dan sederhana namun itulah realitas yang harus dihadapi dalam rangka memperjuangkan hak dan bukan semata-mata jaminan lindung nilai atas obyek sertifikat jaminan fidusia.

Oleh: Michael Agustin (Managing Partner MANP Lawyers litigation & corporate)

*Tulisan ini merupakan opini pribadi dan bukan merupakan kajian menyeluruh terhadap sebuah perkara, untuk informasi lebih lanjut silahkan hubungi kami.

Recommended Posts

Leave a Comment

Contact Us

We're not around right now. But you can send us an email and we'll get back to you, asap.

Start typing and press Enter to search