Melakukan Efisiensi Perusahaan karena Pandemi

 In Hukum Ketenagakerjaan

Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) nomor 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan. Perpu 1/2020 ini dikeluarkan sebagai  tindakan antisipasi (forward looking) dalam rangka menjaga stabilitas sektor keuangan. Sebelumnya Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah menetapkan masa darurat bencana nasional melalui Keputusan Kepala BNPB nomor 13 A tahun 2020 yaitu selama 91 hari yang terhitung mulai tanggal 29 Februari 2020 hingga 29 Mei 2020. Pemerintah juga telah menetapkan bahwa negara dalam keadaan Darurat Kesehatan Masyarakat melalui Keputusan Presiden (Keppres) no 11 tahun 2020, yang kemudian diikuti dengan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 21 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Bersakala Besar (PSBB). Kebijakan ini memang terasa pahit yang mau atau tidak mau harus dikeluarkan untuk menghindari ketidakpastian hukum terhadap kondisi yang sangat buruk akibat pandemic Covid-19.

Meskipun sudah dilakukan antisipasi dengan berbagai kebijakan dan beberapa anjuran dari Pemerintah, namun dampak ekonomi tetap tidak bisa dihindarkan. Baru-baru ini jagat sosial media diramaikan dengan video Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karyawan Ramayana Depok. Video viral ini menambah panjang catatan PHK akibat Covid-19 yang sebelumnya berdasarkan pernyataan Menteri Ketenagakerjaan yang ditulis oleh Kompas online bahwa per 4 April 2020 sudah ada 130.456 orang yang di-PHK dan 7.445 diantaranya karena alasan dampak Covid-19 yang tercatat di Kemnaker. Meskipun Pemerintah meminta tidak ada PHK, kesulitan ekonomi sebagai dampak Covid-19 ini akan menyebabkan gelombang PHK akan sulit dibendung.bagi para pekerja yang terkena PHK masih ada kesempatan untuk mengajukan kartu pra kerja yang sudah resmi dirilis Pemerintah melalui Peraturan Presiden (Perpres) nomor 36 tahun 2020 Pengembangan Kompetensi Kerja Melalui Program Kartu Pra-Kerja. Berdasarkan ketentuan Perpres 36/2020 tersebut, pemegang kartu pra kerja bisa mendapatkan insentif berupa: Biaya Pelatihan, Biaya mencari kerja, dan biaya pengisian survey dan evaluasi (pasal 12). Lantas, bagaimana dengan Perusahaan yang sudah tidak bisa lagi bertahan?

Beberapa hari yang lalu saya berbincang dengan teman saya yang kebetulan menjadi pengurus di serikat pekerja sebuah perusahaan otomotif di Indonesia. Dia diminta untuk membuat sebuah setting skenario PHK terhadap 27 karyawan yang Sebagian besar berstatus kontrak. Sebagai representasi serikat pekerja yang sekaligus juga pekerja tentu ini sangat bertentangan dengan rasa keadilan, namun melihat kondisi perusahaan yang pendapatannya menurun karena dampak covid-19 tentu akan bisa dipahami jika Perusahaan butuh rasionalisasi untuk menekan pengeluaran. Ada lagi sebuah perusahaan yang bergerak di bidang permainan anak, yang harus menutup area bermain mereka di seluruh Indonesia karena mall juga tutup. Sebelum tutup, mereka sempat mengeluh karena sepinya pengunjung. Bahkan pernah suatu ketika mereka hanya mendapatkan sekitar Rp. 100ribuan dari salah satu area bermain mereka dalam satu hari.

Perusahaan tentu mengalami dilemma, karena di satu sisi amanat UU nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan (UU Naker) mengamanatkan untuk sebisa mungkin tidak melakukan PHK (pasal 151), namun di sisi lain kondisi 2 bulan terakhir ini benar-benar sangat kritis. Kondisi ini tentu lebih parah dirasakan oleh perusahaan yang sebelum adanya covid-19 juga sudah mengalami penurunan, tentu hantaman ini akan memperparah kondisi perusahaan tersebut. Jika Perppu 1/2020 belum mampu memberikan jaminan atas keberlangsungan usaha, dan harus melakukan efisiensi tenaga kerja maka hal ini yang bisa dilakukan.

Pertama, menengok kembali ketentuan dalam Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB). PP atau PKB yang baik tentu akan memuat ketentuan yang mengatur ketika dalam situasi bencana dan atau keadaan darurat. Ketentuan ini akan mempermudah perusahaan dalam mengambil keputusan terkait tenaga kerja. Karena, minimal perusahaan secara tidak langsung telah mendapatkan kesepakatan untuk melakukan tindakan apapun untuk mensikapi situasi covid-19 saat ini termasuk di dalamnya ketika harus melakukan PHK.

Kedua, melakukan PHK sesuai dengan ketentuan UU Naker. Jika dilakukan kepada tenaga kerja dengan status Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), kita bisa melihat klausul kontrak terkait force majeure (Kahar), namun apabila ternyata dalam PKWT tidak ada ketentuan yang mengatur tentang kahar maka akan lebih baik jika perusahaan tetap menggunakan ketentuan pasal 62 UU Naker yang menyatakan “Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja”. Sedangkan untuk tenaga kerja yang memiliki status tenaga kerja tetap dengan dasar Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT), maka  Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) (pasal 164).

Ketiga, jika perusahan memiliki key performance indicator (KPI), maka pengusaha dapat mernjadikan KPI tenaga kerja sebagai rujukan ketika ingin melakukan rasionalisasi tenaga kerja. Sehingga dapat mengajukan PHK terhadap karyawan yng memiliki KPI terendah. Cara ini bisa jadi paling efektif dan efisien.

oleh : Ardian Pratomo (Lawyer di MANP Lawyers litigation & Corporate)

*Tulisan ini adalah pendapat pribadi, bukan kajian ilmiah yang komprehensif terhadap suatu kasus. untuk mendapatkan informasi lebih lanjut silahkan menghubungi kami.

Recommended Posts

Leave a Comment

Contact Us

We're not around right now. But you can send us an email and we'll get back to you, asap.

Start typing and press Enter to search