Buku I KHES: Subyek Hukum dan AmwaL

 In Hukum Ekonomi Syariah

Lahirnya Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UUPA) membawa konsekuensi perluasan kewenangan Pengadilan Agama. Perluasan tersebut berdasarkan pasal 49 UUPA bahwasanya Pengadilan Agama berwenang untuk menangani perkara-perkara dibidang ekonomi Syariah. Makna dari perluasan kewenangan tersebut berarti Pengadilan Agama memiliki kewenangan mutlak yang meliputi bidang-bidang perdata tertentu (bukan hanya bidang hukum keluarga dari orang yang beragama Islam) serta berdasarkan perluasan asas personalitas keIslaman. Penyelesaian sengketa tidak hanya dibatasi di bidang perbankan syari’ah, melainkan juga di bidang ekonomi syari’ah lainnya. Yang dimaksud dengan “antara orang-orang yang beragama Islam” adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal- hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama sesuai dengan ketentuan UUPA. Ketentuan ini memberi wewenang kepada Pengadilan Agama untuk sekaligus memutuskan sengketa milik atau keperdataan lain yang terkait dengan objek sengketa yang diatur dalam Pasal 49 UUPA apabila subjek sengketa antara orang- orang yang beragama Islam. Hal ini menghindari upaya memperlambat atau mengulur waktu penyelesaian sengketa karena alasan adanya sengketa milik atau keperdataan lainnya tersebut sering dibuat oleh pihak yang merasa dirugikan dengan adanya gugatan di pengadilan agama.

Upaya penyelesaian dibidang ekonomi Syariah diatur melalui Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (Perma KHES). KHES ini menjadi pegangan bagi hakim di lingkungan peradilan agama sebagai pedoman untuk mengetahui prinsip-prinsip syari’ah dan ekonomi syari’ah. Ketentuan ini dituangkan dalam pasal 1 ayat (1) PERMA. Secara lebih lengkap, pasal 1 PERMA ini berbunyi: hakim pengadilan dalam lingkungan peradilan agama yang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan ekonomi syari’ah, mempergunakan sebagai pedoman prinsip syari’ah dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah. Mempergunakan sebagai pedoman prinsip syari’ah dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah sebagaimana dimaksud dengan tidak mengurangi tanggungjawab hakim untuk menggali dan menemukan hukum untuk menjamin putusan yang adil dan benar.

Subyek Hukum

Ketentuan Subjek hukum dalam KHES dituangkan dalam Buku I tentang Subjek Hukum dan Amwal. Subyek hukum diatur dalam pasal 2 sampai dengan pasal 16 Perma KHES. Pasal 1 pada butir 2 menyebutkan bahwa. Kecakapan hukum adalah kemampuan subyek hukum untuk melakukan perbuatan yang dipandang sah secara hukum. Subjek hukum ini memiliki persyaratan yang harus dipenuhi, sebagaimana dijelaskan pada pasal 2 yang berbunyi: seseorang dipandang memiliki kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum dalam hal telah mencapai umur paling rendah 18 (delapan belas) tahun atau pernah menikah. Badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum, dapat melakukan perbuatan hukum dalam hal tidak dinyatakan taflis/pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Perlu diuraikan di sini adalah ketentuan subjek hukum berupa badan usaha yang dituangkan dalam pasal 1 ayat (2) Perma KHES diikuti dengan ketentuan syarat subjek hukum, yaitu tidak dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan.

Perma KHES juga mengatur perwalian dalam hal kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum. Pewalian adalah kewenangan yang diberikan kepada wali untuk melakukan perbuatan hukum atas nama dan untuk kepentingan muwalla. Dalam konteks ini terdapat dua hal yang terkait dengan perwalian yakni : wali dan muwalla. Muwalla adalah seseorang yang belum cakap melakukan perbuatan hukum, atau badan usaha yang dinyatakan taflis/pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Wali adalah seseorang atau kurator badan hukum yang ditetapkan oleh pengadilan untuk melakukan perbuatan hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan, untuk kepentingan terbaik bagi muwalla.

Orang yang tidak memiliki kecakapan hukum berhak mendapatkan perwalian. Perwalian diajukan melalui permohonan kepada Pengadilan Agama atas dasar pengakuan kecakapan hukum untuk bertindak melakukan perbuatan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum. Perwalian atas dasar pengakuan kecakapan hukum tersebut diajukan berdasarkan atas beberapa kriteria yakni : seorang anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun dengan mengajukan permohonan kepada pengadilan, seseorang sudah berumur 18 tahun atau pernah menikah, namun tidak cakap melakukan perbuatan hukum, maka pihak keluarganya dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk menetapkan wali bagi yang bersangkutan, badan hukum terbukti tidak mampu lagi berprestasi sehingga menghadapi kepailitan, atau tidak mampu membayar utang dan meminta permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang, maka pengadilan dapat menetapkan kurator atau pengurus bagi badan hukum tersebut atas permohonan pihak yang berkepentingan. Pengadilan dapat menetapkan orang yang berutang berada dalam perwalian berdasarkan permohonan orang yang berpiutang, serta menetapkan pewalian bagi orang yang tindakannya menyebabkan kerugian orang banyak. Dalam konteks ini pengadilan berwenang untuk menetapkan perwalian bagi orang yang dipandang tidak cakap melakukan perbuatan hukum dan menetapkan orang untuk bertindak sebagai wali.

Muwalla dapat melakukan perbuatan hukum yang menguntungkan dirinya, meskipun tidak mendapat izin wali. Muwalla tidak dapat melakukan perbuatan hukum yang merugikan dirinya, meskipun mendapat izin wali. Keabsahan perbuatan hukum muwalla atas hak kebendaannya yang belum jelas akan menguntungkan atau merugikan dirinya bergantung pada izin wali. Izin pewalian dapat dinyatakan secara tulisan atau lisan. Apabila terjadi perselisihan antara muwalla dengan wali, muwalla dapat mengajukan permohonan ke pengadilan untuk ditetapkan bahwa yang bersangkutan memiliki kecakapan melakukan perbuatan hukum.  Wali terdiri atas : orang tua muwalla; orang yang menerima wasiat dari orang tua muwalla; bapak/ibu angkat muwalla; orang lain atau badan hukum yang ditetapkan oleh pengadilan. Kekuasaan wali berlaku sejak penetapan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Wali wajib menjamin dan melindungi muwalla dan hak- haknya sampai cakap melakukan perbuatan hukum. Wali dapat menolak memberi izin kepada muwalla untuk melakukan perbuatan hukum tertentu dengan mempertimbangkan keuntungan atau kerugian dari perbuatan hukum tersebut. Wali wajib mengganti kerugian yang diderita muwalla atas kesalahan perbuatannya, penetapan kesalahan perbuatan wali dan penggantian kerugian muwalla ditetapkan oleh pengadilan. Kekuasaan wali berakhir karena: meninggal dunia; muwalla telah memiliki kecakapan melakukan perbuatan hukum; atau dicabut berdasarkan penetapan pengadilan.

Amwal

Amwal adalah benda yang dapat dimiliki, dikuasai, diusahakan, dan dialihkan, baik benda berwujud maupun tidak berwujud, baik benda yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar, baik benda yang bergerak maupun yang tidak bergerak, dan hak yang mempunyai nilai ekonomis. Kepemilikan benda adalah hak yang dimiliki seseorang, kelompok orang, atau badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum untuk melakukan perbuatan hukum. Penguasaan benda adalah hak seseorang, kelompok orang, atau badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum untuk melakukan perbuatan hukum, baik miliknya maupun milik pihak lain. Pengusahaan benda adalah hak seseorang atau badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum untuk mendayagunakan benda, baik miliknya maupun milik pihak lain. Pengalihan hak kebendaan adalah pemindahan hak kepemilikan dari subjek hukum yang satu ke subjek hukum yang lain.

Pemilikan amwal didasarkan pada asas: amanah, bahwa pemilikan amwal pada dasarnya merupakan titipan dari Allah Subhanahu Wata’ala untuk didayagunakan bagi kepentingan hidup. Infiradiyah, bahwa pemilikan benda pada dasarnya bersifat individual dan penyatuan benda dapat dilakukan dalam bentuk badan usaha atau korporasi. Ijtima’iyah, bahwa pemilikan benda tidak hanya memiliki fungsi pemenuhan kebutuhan hidup pemiliknya, tetapi pada saat yang sama di dalamnya terdapat hak masyarakat. Manfaat, bahwa pemilikan benda pada dasarnya diarahkan untuk memperbesar manfaat dan mempersempit madharat. Cara perolehan amwal dapat diperoleh dengan cara: pertukaran; pewarisan; hibah; wasiat; pertambahan alamiah; jual-beli; luqathah;
wakaf, dan cara lain yang dibenarkan menurut syariah. Prinsip pemilikan amwal adalah: pemilikan yang penuh, menimbulkan adanya kepemilikan manfaat dan tidak dibatasi waktu; pemilikan yang tidak penuh, mengharuskan adanya kepemilikan manfaat dan dibatasi waktu; pemilikan yang penuh tidak bisa dihapuskan, tetapi bisa dialihkan; pemilikan syarikat yang tidak penuh sama dengan kepemilikan terpisah tasharruf-nya; pemilikan syarikat yang penuh ditasharrufkan dengan hak dan kewajiban secara proporsional.

            Buku I KHES terdiri dari 3 bab dan 19 pasal yang pada intinya mengatur tentang ketentuan umum, subyek hukum dan amwal. Dalam Buku I tersebut diatur tentang prinsip-prinsip dasar mengenai subyek hukum dan kebendaan.

Oleh: Michael Agustin, S.H (Managing Partner MANP Lawyers Litigation & Corporate)

DISCLAIMER :

Tulisan ini adalah pendapat pribadi, bukan kajian ilmiah yang komprehensif terhadap suatu kasus.. MANP Lawyers menyediakan layanan jasa hukum ADR dan litigasi untuk ekonomi dan keuangan Syariah, untuk mendapatkan informasi lebih lanjut silahkan menghubungi kami.

Recommended Posts

Leave a Comment

Contact Us

We're not around right now. But you can send us an email and we'll get back to you, asap.

Start typing and press Enter to search