Penyalahgunaan Keadaan dalam Perjanjian

 In Hukum Perdata
keputusan Hukum

matthias.zomer.stock.photographer

Pasal 1320 ayat  KUHPerdata menyebutkan bahwa 1) perjanjian didasarkan pada kesepakatan (consensus); 2) perjanjian harus dibuat oleh orang yang cakap untuk membuat perjanjian; 3) obyek perjanjian harus jelas atau tertentu; dan 4) perjanjian itu memiliki sebab (causa) yang halal. Artinya  kebebasan salah satu pihak untuk menentukan isi perjanjian diatur oleh ketentuan pihak  lain. Dengan kata lain asas kebebasan berkontrak dibatasi oleh ketentuan kesepakatan  para pihak. Adapun didalam pasal 1321 KUHperdata mempertegas kembali bahwasanya  tiada kebebasan dalam perjumpaan kehendak atau consensus yang diberikan karena khilaf, paksaan atau penipuan yang berakibat kontrak menjadi tidak sah. Begitu pula dengan terdapatnya asas itikad baik yang terdapat didalam pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang merupakan pembatasan terhadap berlakunya asas kebebasan berkontrak.

Kebebasan berkontrak memang sering menimbulkan ketidakadilan dikarenakan membutuhkan posisi tawar (bargaining position) yang berimbang dari para pihak yang menutup perjanjian.  Seringkali posisi tawar yang tidak berimbang menyebabkan pihak dengan posisi tawar yang lebih tinggi mendiktekan kemauannya kepada pihak lawan janjinya. Apabila seseorang mengetahui atau seharusnya mengerti bahwa pihak lain dikarena suatu keadaan khusus seperti keadaan darurat, ketergantungan, tidak dapat berfikir panjang, keadaan jiwa yang abnormal atau tidak berpengalaman tergerak untuk melakukan suatu pebuatan hukum meskipun seseorang tersebut mengetahui atau seharusnya mengerti sebenarnya ia harus mencegahnya. Jika salah satu pihak mengetahui hal tersebut, namun tidak melakukan pencegahan, maka akan berpotensi terjadinya cacat kehendak karena adanya penyalahgunaan keadaan. Karena Kesepakatan tersebut dapat dikatakan sebagai kesepakatan terpaksa (contradiction in interminis) atau unsur yang mengandung cacat kesepakatan

Penyalahgunaan keadaan atau misbruik van omstandigheden adalah perbuatan yang dilakukan terhadap pihak lain yang terikat dalam suatu perjanjian dengan memanfaatkan kedudukan yang tidak setara dari salah satu pihak dengan tujuan untuk mengambil keuntungan ekonomis saja.

Pada hakekatnya, penyalahgunaan keadaan tidak semata berkaitan dengan isi perjanjian yang tidak berimbang.  Perjanjian dianggap bertentangan dengan tata krama/kesusilaan atas dasar keadaan penyalahgunaan keadaan yang mengiringi terjadinya perjanjian tersebut.

Penyalahgunaan keadaan berkaitan dengan syarat subyektif perjanjian.  Salah satu pihak menyalahgunakaan keadaan yang berakibat pihak lawan janjinya tidak dapat menyatakan kehendaknya secara bebas. Salah satu yurisprudensi yang menyebutkan tentang penyalahgunaan keadaan adalah Putusan Mahkamah Agung No. 3641.K/Pdt/2001 tanggal 1 September 2002 yang menyebutkan “penandatanganan perjanjian yang tertuang dalam Akta No. 41 dan 42 oleh orang yang sedang ditahan polisi tersebut, adalah merupakan tindakan “penyalahgunaan keadaan”, karena salah satu pihak dalam perjanjian tersebut berada dalam keadaan tidak bebas untuk menyatakan kehendaknya.  Akibat hukumnya, semua perjanjian yang tertuang dalam Akta No. 41 dan No. 42 tersebut beserta perjanjian lainnya, menjadi batal menurut hukum atau dinyatakan batal oleh hakim atas tuntutan/gugatan pihak lain”.

lantas apa akibat hukum terhadap penyalahgunaan keadaan tersebut?

penyalahgunaan keadaan sebagai cacat kehendak membawa konsekuensi perjanjian dapat dimohonkan pembatalannya (vernietigbaar) kepada hakim oleh pihak yang dirugikan.  Sepanjang perjanjian belum dibatalkan, maka perjanjian tetap mengikat para pihak yang membuatnya.  Tuntutan pembatalan dapat dilakukan untuk sebagian atau seluruhnya dari isi perjanjian.

Bagaimana mengetahui bahwa terjadi penyalahgunaan keadaan?

Untuk menentukan ada tidaknya penyalahgunaan keadaan, indikator yang dapat menjadi patokan adalah :

  1. Dari aspek formulasi perjanjian, prestasi dan kontra prestasi yang dibebankan kepada para pihak tidak berimbang secara mencolok dan bahkan tidak patut, dan

  2. Dari aspek proses ditutupnya perjanjian, hal itu terjadi dikarenakan adanya pihak yang menyalahgunakan keadaan sebagai akibat memiliki posisi tawar yang lebih tinggi, baik berupa kelebihan secara ekonomi ataupun psikologis.

Sehingga jika keadaan tersebut terpenuhi dan kemudian terdapat kerugian yang nyata dari salah satu pihak, maka pihak tersebut memiliki hak untuk mengajukan permintaan pembatalan perjanjian.

Oleh: Ardian Pratomo (Partner MA&P Lawyers Deliberative Legal Solution)

*Tulisan ini adalah pendapat pribadi, bukan kajian ilmiah yang komprehensif terhadap suatu kasus. untuk mendapatkan informasi lebih lanjut silahkan menghubungi kami.

Telp / WA : +6281298739918

email: manplawyers@manplawyers.co

Recommended Posts

Leave a Comment

Contact Us

We're not around right now. But you can send us an email and we'll get back to you, asap.

Start typing and press Enter to search