Hall of Fame – Top Indonesian Law Schools 2023 adalah sebuah daftar eksklusif para partner dari kantor hukum terkemuka, lulusan kampus-kampus hukum terbaik di Indonesia. Daftar ini berisi 660 nama advokat yang berasal dari 25 kampus hukum.

Corporate Social Responsibility (“CSR”) juga dikenal dengan istilah Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (“TJSL”).

Ketentuan mengenai TJSL dapat ditemukan dalam UU PT. TJSL adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.

Pada dasarnya, tidak ada ketentuan yang melarang dengan tegas PNS untuk mempunyai usaha sampingan, baik dalam UU ASN ataupun PP 94/2021. Dahulu, PNS sempat dilarang mempunyai kegiatan wirausaha seperti dagang, menjadi direksi atau komisaris berdasarkan Pasal 3 PP 30/1980. Namun kemudian peraturan tersebut tidak berlaku lagi pasca berlakunya PP 94/2021.

Salah satu pertanyaan mendasar yang sering diajukan oleh klien kepada seorang advokat serta pertanyaan ini menjadi ‘trending topic’ di dunia maya adalah dapatkah perkara wanprestasi beubah menjadi penipuan ? atau singkat kata dapatkah perkara perdata bergeser menjadi perkara pidana? Untuk menjawab pertanyaan tersebut paling tidak kita bisa konstruksikan terlebih dahulu rumusan norma dalam KUHPerdata yang mengatur tentang wanprestasi serta rumusan norma dalam KUHPidana yang mengatur tentang penipuan. Selanjutnya setelah ditemukan konstruksi normatif mengenai wanprestasi dan penipuan maka selanjutnya dielaborasi beberapa hal yang menjadi irisan antara perkara wanprestasi dan penipuan, irisan tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu patokan untuk menilai tentang pergeseran perkara perdata menjadi perkara pidana..

Perkembangan revolusi industri 4.0 tidak dapat dipungkiri telah membawa berbagai perubahan yang luar biasa kedalam dimensi kehidupan manusia. Dalam beberapa dekade terakhir segala dimensi kehidupan manusia telah terbantu oleh kehadiran revolusi industri 4.0, baik dari segi kualitas maupun efisiensi waktu.

Transformasi industri 4.0 dijuluki sebagai era otomatisasi dan interkonektivitas pada saat ini sedang menuju puncaknya. Salah satu tulang punggung yang menopang kehadiran industri 4.0 adalah tren otomatisasi dan pertukaran data dalam teknologi manufaktur dan jasa yang ditandai hadirnya sistem cyber-physical, big data, block chain, internet of things (IoT), komputasi awan, komputasi kognitif dan teknologi printing 3 dimensi.

Perkembangan revolusi industri 4.0 salah satunya telah merambah kedalam dunia hukum yang ditandai hadirnya platform hukum Law Geex Artificial Intelegence (AI). Berdasarkan berita dari laman Tempo tanggal 27 Februari 2018, AI telah mengalahkan pengacara terkemuka untuk pertama kalinya dalam sebuah kompetisi memahami kontrak hukum. Algoritme tersebut dibuat oleh platform hukum Law Geex AI yang berbasis di New York dan Tel Aviv, Israel. Hasil tersebut telah dianalisis oleh profesor hukum dari tiga perguruan tinggi, yaitu Stanford University, Duke University School of Law dan University of Southern California.

LawGeex AI telah meninjau lima perjanjian NDA (Non-Disclosure Agreements) dibandingkan dengan 20 pengacara terlatih Amerika untuk mengevaluasi data yang sama. Dengan mengidentifikasi 30 masalah hukum, termasuk arbitrase, kerahasiaan, hubungan dan ganti rugi. Dalam waktu empat jam, AI mencapai tingkat akurasi 94 persen untuk memilih risiko. Sedangkan para pengacara dengan pengalaman puluhan tahun hanya mengelola tingkat akurasi sebesar 85 persen. AI yang bernama Robot LawGeex itu dapat menyelesaikan tugas hanya dalam waktu 26 menit saja, 66 menit lebih cepat dari rata-rata waktu manusia.

Saat ini banyak perkara korupsi yang ditangani oleh KPK, Kepolisian dan Kejaksaaan melibatkan korporasi. Wakil Ketua KPK Alexander Marwata pernah mengungkapkan setidaknya 90 persen lebih kasus korupsi melibatkan korporasi. Keterlibatan korporasi tersebut tentunya memiliki konsekuensi dalam bentuk pertanggungjawaban pidana. Secara historis, pertanggungjawaban pidana korporasi di Indonesia sebenarnya telah diberlakukan sejak tahun 1951 melalui UU Darurat Nomor 17 Tahun 1951 tentang Penimbunan Barang-Barang. Pasca tahun 1951 pertanggungjawaban korporasi telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan salah satunya telah diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tindak Pidana Korupsi).

SPidato Presiden Republik Indonesia pada sidang paripurna MPR RI dalam rangka pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih periode 2019-2024 di Jakarta pada tanggal 20 Oktober 2019 salah satunya menyampaikan tentang Omnibus Law. Pada saat menyampaikan gagasan besar yang akan dilaksanakan lima tahun mendatang sebagaimana disampaikan dalam poin ketiga yakni, ?segala bentuk kendala regulasi harus kita sederhanakan, harus kita potong, harus kita pangkas. Pemerintah akan mengajak DPR untuk menerbitkan 2 undang-undang besar. Pertama, UU Cipta Lapangan Kerja. Kedua, UU Pemberdayaan UMKM. Masing-masing UU tersebut akan menjadi?Omnibus law, yaitu satu UU yang sekaligus merevisi beberapa UU, bahkan puluhan UU. Puluhan UU yang menghambat penciptaan lapangan kerja langsung direvisi sekaligus. Puluhan UU yang menghambat pengembangan UMKM juga akan langsung direvisi.?.

Indikasi geografis dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Gerografis (UU 20/2016) dimaknai sebagai suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang dan/atau produk yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut memberikan reputasi, kualitas, dan karakteristik tertentu pada barang dan/atau produk yang dihasilkan..

Tindak pidana korporasi mulai dikenal sejak diterbitkannya Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, Peradilan Tindak Pidana Ekonomi yang menempatkan korporasi sebagai subyek hukum, dimana dalam pasal 15 ayat (1) menyebutkan “Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang yang lainnya atau suatu yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu, baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana ekonomi itu atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu, maupun terhadap kedua-duanya”. Setelah itu banyak Undang-Undang yang juga menempatkan korporasi sebagai subyek hukum, diantaranya yaitu Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang..

Perusahaan yang sudah tidak beroperasi memang sebaiknya dibubarkan saja, karena jika didiamkan akan menimbulkan beban tersendiri pada para pengurus dan pemegang saham. Meskipun perusahaan tidak beroperasi, namun beberapa kewajiban sebagai perusahaan tetap harus dijalankan .

Dengan kekuatan hukum yang sama dengan keputusan RUPS, tentu kita harus melihat dahulu mengenai syarat dan prosedur pembubaran Perseroan pada bab X dari pasal 142 sampai dengan Pasal 152 UUPT. Berdasarkan ketentuan Pasal 142 ayat (1) UUPT salah satu alasan terjadinya pembubaran PT adalah berdasarkan putusan RUPS. Karena keputusan sirkuler memiliki kekuatan hukum yang sama dengan RUPS maka berdasarkan ketentuan Pasal 142 ayat (1) UUPT, maka pembubaran perseroan bisa menggunakan dasar keputusan sirkuler. Pembubaran perseroan tidak bisa dilakukan begitu saja setelah dinyatakan bubar, karena pembubaran perseroan tidak secara otomatis menghapus status badan hukum dari sebuah perusahaan hingga dilakukan pertanggungjawaban Likuidator disetujui oleh RUPS atau Pengadilan..

Kemudahan berusaha telah diterapkan pemerintah dengan memberikan fasilitas penunjang baik yang sudah tertuang dalam kebijakan tertulis maupun ketersediaan sarana dan prasarana pendukung kemudahan tersebut yang dimulai dengan kemudahan dalam membuat perizinan berusaha. Kehadiran Online Single Submission (OSS) yang pertama kali di luncurkan pada tahun 2018 yang kemudian saat ini telah ditingkatkan pelayanannya menjadi dengan pendekatan resiko atau Risk Based Approach (RBA), cukup untuk memutus jalur birokrasi perizinan yang selama ini menjadi keluhan terbesar dari pengusaha..

Sebagai organ yang ditunjuk melalui RUPS, Direksi memiliki kewenangan yang luas dalam upaya untuk memastikan perseroan akan berjalan dengan baik dan benar sebagaimana maksud dan tujuan yang tertera dalam akta.

Contact Us

We're not around right now. But you can send us an email and we'll get back to you, asap.

Start typing and press Enter to search