Kerugian Negara dan Korupsi

 In Hukum Pidana

Praktik diskursif mengenai ada atau tidaknya kerugian negara menghias diwajah media massa pada medio april ini. Kerugian negara seakan selalu menjadi menu wajib pada setiap pemberitaan dugaan tindak pidana korupsi. Terlepas dari praktik trial by press seolah publik disuguhi opini yang mengarahkan sebuah keniscayaan telah terjadi tindak pidana korupsi. Apalagi ditambahkan dengan sebutan nominal yang fantastis dan menghentakkan nurani publik. Selain itu, secara momentum pemberantasan tindak pidana korupsi juga menjadi agenda besar pemerintah Republik Indonesia untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN. Sehingga fenomena tersebut seolah menjadi setali tiga uang yang mewarnai dinamika perjalanan pemerintahan kita. Terlepas dari hal itu semua, ada pertanyaan dasar yang perlu kita ajukan, sebenarnya kerugian negara itu apa ? siapa yang berhak menghitungnya ? bagaimana cara menghitungnya ? tulisan ini hanyalah refleksi diri penulis selama berpraktik menjadi advokat yang telah disarikan dari berbagai sumber seperti diskusi dengan para praktisi dan ahli serta paper para ahli. Tulisan ini juga tidak ditujukan untuk menjadi bagian dari praktik diskursif yang sedang terjadi ataupun menjadi salah satu bagian dari kelompok tertentu. Penulis mencoba menyajikan kerangka normatif dalam peraturan perundang- undangan yang terkait dengan penghitungan kerugian negara dalam tindak pidana korupsi.

Kerugian Negara

Kerugian negara merupakan pintu masuk untuk menentukan terjadi atau tidaknya sebuah perkara tindak pidana korupsi. Pasal 2 ayat (1) jo pasal 3 Undang- undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah berdasarkan Undang- undang Nomor 20 tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi, salah satu unsur tindak pidana korupsi adalah dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) dinyatakan : adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat. Sedangkan dalam pasal 3 dinyatakan : kata dapat dalam pasal 3 diartikan sama dengan penjelasan pasal 2. Unsur merugikan negara merupakan bestandel delict dari rumusan delik tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat (1) jo pasal 3 UUTPK.

Berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat (22) UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara,: “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai”. Dalam hal ini unsur kerugian negara harus nyata dan pasti. Nyata, artinya kekurangan tersebut telah ada sejak diperiksa menurut standar pemeriksaan yang patut dengan membandingkan antara laporan keuangan dan keberadaan uang, barang, dan/atau surat berharga pada saat kondisi kejadian terjadi yang mejadi milik sah negara yang ada dalam dokumen dan kas negara. Pasti jumlahnya, artinya kekurangan tersebut telah diketahui jumlahnya berdasarkan standar pemeriksaan yang patut dan berdasarkan penelusuran atas laporan keuangan dan merupakan selisih uang, nilai aset barang oleh appraisal, dan nilai surat berharga yang digunakan secara nyata pada saat kejadian kekurangan diketahui yang menjadi milik negara. Dengan demikian, kerugian negara bukan kerugian total atau potensi kerugian (potential loss) karena unsur nyata dan pasti harus terpenuhi secara syarat formal. Oleh sebab itu, perhitungan kerugian negara harus didasarkan pada prosedur dan tata cara yang mengandung kepastian, dan tidak berdasarkan rekaan atau perhitungan yang bersifat asumsi.

Makna kerugian negara dalam kaitannya dengan pengertian keuangan negara adalah kerugian negara sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 22 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 yang merupakan kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang ditetapkan dalam APBN dan APBD. Dengan demikian, kerugian di luar APBN dan APBD menurut hukum hakikatnya termasuk pada dua kemungkinan, yaitu : (1) merupakan kerugian yang bersifat administrasi, sehingga penyelesaiannya dilakukan dengan prosedur administratif seperti ganti kerugian ditambah dengan denda; atau (2) merupakan risiko negara yang dapat diselesaikan menurut ketentuan hukum keperdataan.

Auditor yang berwenang

Untuk menghasilkan sebuah produk audit yang sesuai dengan peraturan perundang- undangan diperlukan lembaga yang memiliki wewenang untuk melakukan penghitungan kerugian negara. Dalam penjelasan Pasal 32 ayat (1) UUTPK yang menyatakan, “Yang dimaksud dengan “secara nyata telah ada kerugian keuangan negara” adalah kerugian negara yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.” Adapun siapa instansi berwenang yang dimaksud, tidak dijelaskan lebih lanjut. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 yang menguji Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan, “…untuk mempertimbangkan keadaan khusus dan kongkret sekitar peristiwa yang terjadi, yang secara logis dapat disimpulkan kerugian negara terjadi atau tidak terjadi, haruslah dilakukan oleh ahli dalam keuangan negara, perekonomian negara, serta ahli dalam analisis hubungan perbuatan seseorang dengan kerugian…”. “Kesimpulan demikian harus ditentukan oleh seorang ahli di bidangnya.” Ahli dalam bidangnya sebagaimana diputuskan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah jika ahli tersebut ditunjuk berdasarkan putusan pengadilan untuk menilai dan menetapkan kerugian negara. Akan tetapi, jika ahli tersebut diminta oleh penyidik atau pihak lainnya yang berasal dari lembaga negara/lembaga pemerintah non-kementerian/akuntan publik/lembaga lain yang relevan, ahli tersebut harus memiliki kewenangan publik untuk menetapkan dan menghitung kerugian negara.

Menurut hukum administrasi negara, kewenangan adalah kekuasaan publik yang ditetapkan dengan undang-undang. Menetapkan dan menilai kerugian negara termasuk ke dalam tindakan publik yang harus mendasarkan pada undang-undang karena tindakan menetapkan dan menilai kerugian negara merupakan dasar pengambilan tindakan paksa dan tindakan hukum lainnya oleh pihak lain, khususnya oleh pihak aparatur hukum. Dengan demikian, lembaga yang berwenang menilai, menghitung, dan menetapkan kerugian negara harus juga diatur dengan undang-undang untuk maksud menjaga kepastian hukum dan menjaga proses penilaian, penghitungan, dan penetapan tidak dipengaruhi oleh kekuasaan dan pengaruh manapun karena termasuk bagian dari process due of law. Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan mengatur wewenang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk, “menilai dan menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.” Ketentuan tersebut mengatur norma BPK merupakan lembaga negara yang berwenang untuk menilai dan menetapkan kerugian negara, dan bukan badan atau lembaga lain yang tidak mempunyai wewenang untuk melakukan tindakan tersebut. Dengan demikian, apabila Penjelasan Pasal 32 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 dikaitkan dengan Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006, instansi yang berwenang adalah Badan Pemeriksa Keuangan. Akan tetapi, untuk perseroan terbatas, menurut Pasal 138 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, pemeriksaan terhadap perseroan terbatas yang diduga merugikan pihak ketiga dapat dilakukan kejaksaan untuk kepentingan umum dengan prosedur mengajukan permohonan terlebih dahulu pengadilan apabila setelah kejaksaan ditolak mendapatkan data atau keterangan dari perseroan melalui rapat umum pemegang saham. Setelah permohonan diterima pengadilan, ketua pengadilan dapat menolak dan menerima permohonan pemeriksaan. Jika menerima, ketua pengadilan dapat menetapkan maksimal tiga orang ahli untuk melakukan pemeriksaan dengan tujuan mendapatkan data dan keterangan yang diperlukan. Ahli inilah yang dimaksudkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006. Mengenai badan atau lembaga lain yang secara formal melakukan penilaian, perhitungan, dan penetapan kerugian negara yang didasarkan pada memorandum kesepahaman (memorandum of understanding) atau permintaan penyidik, sepanjang mendapatkan persetujuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai badan yang berwenang, badan atau lembaga lain dapat melakukannya untuk dan atas nama BPK berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (3) Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), inspektorat jenderal kementerian/lembaga, dan inspektorat daerah provinsi/kabupaten/kota tidak memiliki kewenangan berdasarkan undang-undang untuk : menilai, menghitung, dan menetapkan kerugian negara. BPKP berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 1986 Tentang Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan memang memiliki kewenangan menghitung kerugian negara, tetapi Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 1986 tersebut sudah dicabut dengan Keputusan Presiden Nomor 62 Tahun 2001, sehingga kewenangan menghitung kerugian negara sudah tidak berlaku lagi. Meskipun Keputusan Presiden Nomor 62 Tahun 2001 telah dicabut khususnya mengenai BPKP dengan Peraturan Presiden Nomor 192 Tahun 2014, tidak ada kewenangan publik yang diberikan kepada BPKP untuk melakukan penilaian dan penetapan kerugian negara. BPKP hanya diberikan fungsi menghitung kerugian negara, audit investigatif, dan pemberian keterangan ahli sebagai bentuk pengawasan internal untuk mencegah penyimpangan, dan bukan bentuk penindakan dan pemeriksaan untuk menilai kasus yang diduga telah terjadi, sehingga upaya audit investigatif sebagai upaya pencegahan, hasilnya sudah semestinya sesuai dengan prosedur diserahkan kepada Presiden, yang kemudian Presiden menindaklanjuti kepada instansi terkait. BPKP sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 Tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah dan Peraturan Presiden Nomor 192 Tahun 2014 dapat melakukan pengawasan intern melalui audit termasuk audit investigatif. Akan tetapi, audit investigatif yang dilakukan BPKP tetap dalam rangka pengawasan intern dan fungsi, bukan wewenang. Dengan demikian, audit investigatif yang dilakukan BPKP tidak dimaksudkan untuk melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 guna menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Akan tetapi, audit investigatif yang dilakukan BPKP memberikan keyakinan yang memadai kegiatan telah ditetapkan secara efektif dan efisien untuk kepentingan pimpinan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008. Hasil penilaian, perhitungan, dan penetapan kerugian negara bukan oleh badan atau lembaga yang berwenang menurut hukum administrasi negara dikatagorikan sebagai tindakan yang mengandung kekurangan yuridis (geen juridische gebreken), sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena batal demi hukum (nietig van rechtwege).

Dengan demikian, BPK merupakan badan atau lembaga negara yang mempunyai wewenang untuk menilai, menghitung, dan menetapkan kerugian negara berdasarkan ketentuan Pasal 23E ayat (1) undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 jo. Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006. Badan atau lembaga lain yang tidak memiliki wewenang dapat menilai, menghitung, dan menetapkan kerugian negara apabila mendapatkan delegasi atau mandat dari Badan Pemeriksa Keuangan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (3) jo. Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Penggunaan Pemeriksa dan/atau Tenaga Ahli dari Luar Badan Pemeriksa Keuangan.

Metode penghitungan kerugian negara

Menurut Pasal 13 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004, guna mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana, pemeriksa dapat melaksanakan pemeriksaan investigatif. Sementara itu, menurut Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 1 Tahun 2007 Tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara, pemeriksaan investigatif, atau koheren dengan istilah yang digunakan BPK dengan pemeriksaan dengan tujuan tertentu, untuk mendeteksi terjadinya penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-undangan, kecurangan (fraud) sertya ketidakpatutan (abuse). Dengan demikian, untuk mengungkap adanya kerugian negara dan dugaan pidana, pemeriksaan investigatif atau pemeriksaan tujuan tertentu dibutuhkan untuk menghasilkan temuan atau simpulan. Pemeriksaan investigatif akan menghasilkan temuan perhitungan kerugian negara dan simpulan mengenai kerugian negara tersebut terjadi akibat perbuatan melawan hukum atau mal-administrasi. Jika kerugian negara tersebut disimpulkan merupakan mal-administrasi, pemeriksa merekomendasikan pengenaan ganti kerugian atau disertai dengan dendanya melalui penetapan kerugian negara. Jika kerugian negara tersebut disimpulkan terdapat indikasi perbuatan melawan hukum pidana, pemeriksa menyampaikan jumlah perhitungan kerugian negaranya.

Dalam melakukan pemeriksaan investigatif, pemeriksa menurut Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 1 Tahun 2007 harus menerapkan asas asersi, yaitu asas dimana semua pihak atau orang yang terkait dengan obyek pemeriksaan diberikan kesempatan untuk didengarkan dan diminta keterangan. Jika pemeriksa tidak melakukan atau tidak menerapkan standar-standar dalam pemeriksaan, pemeriksa harus menjelaskan alasan tidak menerapkan standar tersebut dan akibatnya. Pemeriksa yang menyalahgunaan kewenangannya sehubungan dengan kedudukan dan/atau tugas pemeriksaan menurut Pasal 25 ayat (2) Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 dipidana sekurang-kurangnya 1 tahun penjara dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya satu miliar rupiah. Dengan demikian, jika ada pemeriksa yang menggunakan kewenangannya, sehingga memberikan temuan dan simpulan yang tidak memadai sesuai dengan standar pemeriksaan keuangan negara dapat dikenakan sanksi pidana tersebut.

Menurut teori hukum anggaran negara dan keuangan publik, kerugian negara tidak muncul dari pilihan tindakan yang dimungkinkan atau tindakan yang efektif guna mencapai manfaat (outcome) yang dibutuhkan. Justru, efektivitas merupakan dasar untuk mencapai keuntungan (benefit), sehingga kerugian negara tidak terjadi. Adanya perbandingan biaya antara satu pilihan dan pilihan lainnya, sehingga yang termurah menciptakan keuntungan negara dan yang termahal menciptakan kerugian negara tidak dapat menjadi latar belakang yang rasional dalam menentukan ada tidaknya kerugian negara. Dalam hal terjadi pilihan tersebut, pemeriksa menurut Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 1 Tahun 2007 harus melaporkan unsur kondisi atas temuan, kriteria yang diharapkan, dan akibat dari pilihan tindakan, serta sebab yang menjadi bukti perbedaan pemilihan tindakan. Hal ini harus dirumuskan dalam hasil pemeriksaan investigatif, sehingga jika tidak ada, laporan pemeriksaan demikian menurut hukum administrasi negara dinyatakan batal demi hukum (nietig van rechtwege).

Data dalam penilaian dan penetapan kerugian negara, termasuk di dalamnya penghitungan kerugian negara diatur dalam Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Negara Nomor 1 Tahun 2007 di mana data yang diperoleh adalah seluruh data yang terkait dan diinvestigasi atau diperoleh dengan penyelidikan khusus, dan bukan yang hanya diperoleh dari bantuan penyidik (berita acara penyidikan). Hal ini disebabkan pemeriksaan investigatif bersifat khusus, spesifik, penyelidikan seksama yang berbeda dengan pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Jika dalam proses pemeriksaan, pemeriksa menolak atau mengesampingkan data yang berasal dari terperiksa atau pihak lainnya secara seimbang, pemeriksa telah melakukan pelanggaran etika dan standar pemeriksaan investigatif sebagaimana diatur dalam Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2007, di mana pelaporan selalu memuat dan dilengkapi tanggapan dari pimpinan atau pejabat yang bertanggung jawab mengenai temuan dan simpulan serta tindakan koreksi yang direncanakan. Pernyataan pejabat yang bertanggung jawab atau pihak tertentu yang diduga atau disangkakan melakukan penyimpangan tidak dapat dilakukan dalam bentuk berita acara pemeriksaan atau mengutip berita acara pemeriksaan, tetapi harus disampaikan secara langsung oleh pemeriksa kepada terduga atau tersangka atau terperiksa dalam rangka untuk memenuhi obyektivitas pemeriksaan investigatif. Pemeriksa menurut Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 1 Tahun 2007 harus obyektif dan mempetimbangkan pendapat dan masukan semua pihak secara seimbang.

Dalam realitas empiriknya seringkali terjadi pelanggaran hak asasi manusia dalam perkara tindak pidana korupsi ketika aparat penegak hukum menentukan status tersangka atas seseorang yang disangka telah melakukan tindak pidana korupsi. Belum ada hasil audit kerugian negara, aparat penegak hukum sudah berani mengumumkan status tersangka seseorang. Terkadang hanya berdasarkan pandangan subyektif aparat penegak hukum disertai dengan (justifikasi) keterangan beberapa saksi serta dokumen- dokumen terkait maupun tidak terkait sudah dianggap 2 (dua) alat bukti dianggap sudah terpenuhi untuk menentukan status seseorang sebagai tersangka tindak pidana korupsi. Padahal jika menilik kembali kepada UUTPK, dimana kerugian negara merupakan bestandel delict sebuah tindak pidana korupsi dan untuk membuktikan bestandel delict tersebut diukur melalui serangkaian mekanisme prosedural (audit) guna menemukan unsur nyata dan pasti sebuah kerugian negara. Menurut hemat penulis seseorang tidak dapat ditetapkan sebagai tersangka tidak pidana korupsi tanpa didahului dengan hasil audit syah secara hukum, baru kemudian aparat penegak hukum menentukan elemen delict yakni perbuatan melawan hukum. Mengingat tindak pidana korupsi adalah delik formal maka aparat penegak hukum perlu mengelaborasi peraturan perundang- undangan yang telah dilanggar seseorang sehingga menyebabkan terjadinya tindak pidana korupsi. Tanpa melalui langkah tersebut artinya telah terlanggengkan penegakan hukum (mengembalikan kerugian negara untuk kemaslahatan masyarakat) harus dicapai dengan melanggar hak asasi orang lain (tersangka) ? itulah ironi yang terjadi di negeri ini.

oleh: Tim MA&P Lawyers

*Tulisan ini adalah pendapat pribadi, bukan kajian ilmiah yang komprehensif terhadap suatu kasus. untuk mendapatkan informasi lebih lanjut silahkan menghubungi kami.

Telp / WA : +6281298739918

email: manplawyers@manplawyers.co

Recommended Posts

Leave a Comment

Contact Us

We're not around right now. But you can send us an email and we'll get back to you, asap.

Start typing and press Enter to search