Alat Bukti Persangkaan, Pemeriksaan Setempat

 In Hukum Perdata

Alat-alat bukti yang sah menurut hukum acara perdata sebagaimana diatur dalam pasal 164 HIR/284 RBG, yaitu : surat-surat, saksi-saksi, pengakuan, sumpah, persangkaan hakim. Pada prinsipnya dalam persidangan perkara perdata hakim cukup membuktikan dengan preponderance of evidence (memutus berdasarkan bukti yang cukup). Alat-alat bukti yang cukup tersebut tentunya memiliki beberapa kualifikasi agar memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat. Dalam tulisan ini kami akan dibahas mengenai alat bukti persangkaan yang disarikan dari berbagai referensi mengenai hukum acara perdata.

Persangkaan diatur dalam pasal 1915 KUHPerdata dan pasal 173 HIR, perbedaan pengaturan persangkaan yang diatur dalam KUHPerdata dan HIR terletak pada jenis persangkaan. Secara akademik kedudukan persangkaan sebagai alat bukti masih menjadi perdebatan oleh beberapa ahli hukum, namun apabila mengacu pada ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 164 HIR dan pasal 1866 KUHPerdata dinyatakan dengan tegas bahwa persangkaan adalah alat pembuktian. Pada prinsipnya yang dimaksudkan dengan persangkaan tidak lain adalah alat bukti yang bersifat tidak langsung. Dalam bahasa lain, persangkaan itu merupakan semacam kesimpulan-kesimpulan yang ditarik oleh hakim dari suatu peristiwa ke peristiwa lainnya. Sehingga hal yang sangat menentukan adalah kemampuan individu hakim sendiri untuk dapat melahirkan persangkaan yang baik berdasarkan undang-undang maupun berdasarkan kenyataan.

Berdasarkan ketentuan pasal 1915 ayat (2) persangkaan terdiri dari persangkaan berdasarkan Undang-undang dan persangkaan tidak berdasarkan undang-undang (kenyataan). Persangkaan berdasarkan Undang-undang sebagaimana dimaksud dalam pasal 1916 KUHPerdata ditentukan berdasarkan suatu ketentuan khusus undang-undang, dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan tertentu atau peristiwa tertentu. Dalam pasal 1916 KUHPerdata diberikan beberapa contoh sebagai berikut : 1) perbuatan yang oleh Undang-undang dinyatakan batal, karena semata-mata demi sifat dan wujudnya, dianggap telah dilakukan untuk menyelundupkan suatu ketentuan Undang-undang, 2) hal-hal dimana oleh Undang-undang diterangkan bahwa hak milik atau pembebasan utang disimpulkan dari keadaan-keadaan tertentu, 3) kekuatan yang oleh Undang-undang diberikan kepada suatu putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak, 4) kekuatan yang oleh Undang-undang diberikan kepada pengakuan atau kepada sumpah salah satu pihak. Dalam konteks ini Undang-undang telah menentukan secara limitatif, hal ini akan membawa konsekuensi bahwa selain yang telah ditentukan oleh Undang-undang bukan merupakan persangkaan. Selanjutnya, persangkaan menurut Undang-undang dapat membebaskan orang dari segala pembuktian dan menjadi dasar untuk menyatakan batal suatu perbuatan, yang tidak dapat dibantah sebagaimana ditentukan dalam pasal 1921 ayat (2) KUHPerdata. Perbuatan-perbuatan yang oleh Undang-undang dinyatakan batal, karena sifat dan keadaannya, disangka dilakukan dengan maksud untuk mengesampingkan suatu ketentuan Undang-undang antara lain : ketentuan dalam pasal 183 KUHPerdata tentang hibah dan ketentuan dalam pasal 911 tentang wasiat. Sedangkan hal-hal yang menurut Undang-undang dapat dijadikan kesimpulan guna menetapkan hak kepemilikan atau pembebasan dari hutang, antara lain : ketentuan dalam pasal 633 KUHPerdata tentang batas, ketentuan dalam pasal 644 KUHPerdata tentang pengecualian pagar bersama, ketentuan dalam pasal 658 KUHPerdata tentang selokan diantara dua pekarangan, ketentuan pasal 1394 KUHPerdata tentang kuitansi pembayaran, ketentuan dalam pasal 1769 KUHPerdata tentang bukti dibayarnya pokok hutang, ketentuan dalam pasal 1977 (1) KUHPerdata tentang penguasaan atas benda bergerak yang tidak berupa bunga. Berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal-pasal tersebut maka persangkaan berdasarkan Undang-undang dapat dibedakan dalam dua jenis, yakni : 1) persangkaan oleh Undang-undang yang dapat dibuktikan kebalikannya (pasal 633, 644,658,1394,1769,1977 KUHPerdata), 2) persangkaan menurut Undang-undang yang tidak dapat dibuktikan kebalikannya (pasal 183,911 KUHPerdata).

Persangkaan yang tidak berdasarkan Undang-undang (kenyataan) hakim bebas menyimpulkan sebuah persangkaan berdasarkan kenyataan. Hakim bebas mempergunakan atau tidak mempergunakan hal-hal yang terbukti dalam suatu perkara sebagai dasar untuk melakukan persangkaan. Persangkaan berdasarkan kenyataan diatur dalam pasal 1922 KUHPerdata dan pasal 173 HIR. Dalam persangkaan berdasarkan kenyataan seorang hakim hanya boleh memperhatikan persangkaan yang penting, tertentu dan dengan teliti serta saling berkesesuaian satu dengan yang lainnya. Persangkaan-persangkaan tersebut hanya boleh diperhatikan hakim sepanjang Undang-undang tidak melarang pembuktian dengan saksi. Secara teknis pembuktiannya harus dibuktikan terlebih dahulu adanya suatu kenyataan yang tidak dapat diperdebatkan melalui alat bukti surat dan saksi. Apabila tahapan tersebut sudah dilalui maka akan diperoleh suatu kesimpulan yang membuktikan adanya hal-hal yang dipersangkakan

Nilai kekuatan pembuktian persangkaan bersifat bebas, untuk memenuhi syarat formil suatu persangkaan, maka satu persangkaan saja tidak cukup, paling tidak harus ada dua persangkaan agar terpenuhi batas minimal pembuktian. Selain itu paling tidak ditambah dengan salah satu alat bukti yang lain. Jika yang ada hanya persangkaan hakim saja, maka nilai pembuktiannya baru mempunyai pembuktian permulaan sehingga harus didukung oleh alat bukti yang lain. Guna memenuhi syarat materiil persangkaan, antara fakta yang satu dengan fakta yang lain harus saling berkesesuaian. Hakim tidak boleh memperhitungkan persangkaan yang bersumber dari fakta-fakta yang saling berlawanan.

Pemeriksaan setempat (descente) adalah pemerikasaan perkara oleh hakim ex officio yang memeriksa perkara dilakukan di luar tempat persidangan. Sehingga hakim dengan melihat sendiri memperoleh gambaran atau keterangan yang memberi kepastian tentang obyek perkara yang menjadi sengketa (pasal 150-153 HIR/pasal 180 RBG). Tujuan dari pemeriksaan setempat memberi kejelasan kepada hakim tentang lokasi,ukuran dan batas-batas obyek sengketa, serta kuantitas dan kualitas suatu barang sengketa serta untuk menghindari eksekusi yang non eksekutabel. Obyek perkara telah jelas bagi hakim tentang ukuran,batas,dan sebagainya maka akan mudah bagi juru sita untuk melaksanakan isi putusan.

Pemeriksaan setempat dapat dilaksanakan berdasarkan putusan sela majelis atas permintaan para pihak yang berperkara atau atas kehendak majelis hakim. Pemeriksaan setempat dilaksanakan berkenaan dengan letak gedung,batas tanah,obyek warisan,harta bersama. Pemeriksaan setempat merupakan bagian dari proses persidangan resmi pengadilan, hanya tempatnya berpindah dari tempat persidangan di Pengadilan ke suatu tempat yang layak di wilayah obyek berada. Apabila dalam gugatan tidak disebutkan mengenai luas, batas, dan letak tanah/ obyek terperkara maka hakim wajib melakukan pemeriksaan setempat. Kelalaian tidak dilakukannya pemeriksaan setempat dapat mengakibatkan Hakim Kasasi akan memerintahkan hakim tingkat pertama membuka sidang untuk pemeriksaan setempat.

Biaya pemeriksaan setempat ditanggung oleh pihak yang meminta atau kepada penggugat apabila atas inisiatif hakim (pasal 121 HIR). Apabila penggugat tidak bersedia menanggung biaya pemeriksaan setempat sedangkan keberadaan obyek perkara belum cukup jelas bagi hakim, serta ada bantahan dari tergugat maka pemeriksaan setempat tidak dapat dilaksanakan. Oleh karena obyek perkara tidak jelas maka hakim dapat mengkualifikasikan sebagai gugatan kabur/obscuur, oleh karena itu gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima karena mengandung cacat formil.

oleh: Michael Agustin (Managing Partner MANP Lawyers Litigation & Corporate)

*Tulisan ini bukan kajian komprehensif terhadap suatu perkara, untuk mendapatkan informasi lebih lanjut silahkan hubungi kami.

Recommended Posts

Leave a Comment

Contact Us

We're not around right now. But you can send us an email and we'll get back to you, asap.

Start typing and press Enter to search