Prinsip Dasar Pembuktian Hukum Acara Perdata

 In Hukum Perdata

Dalam pasal 163 HIR/283 RBG diatur, barangsiapa yang mengaku mempunyai hak atau suatu peristiwa, ia harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu. Rumusan norma tersebut parallel dengan asas actori incumbit prabotio. Berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud maka yang wajib membuktikan adalah : orang yang mengaku mempunyai hak, orang yang membantah dalil gugatan, orang yang menyebutkan suatu perbuatan untuk menguatkan haknya. Hal sebagaimana diuraikan tersebut dalam hukum acara perdata disebut dengan pembuktian.

Pembuktian merupakan suatu upaya untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil gugatan/bantahan dalil gugatan yang dikemukakan dalam suatu persengketaan di persidangan. Pembuktian dalam hukum acara perdata dikenal dua macam, yakni : hukum pembuktian materiil dan hukum pembuktian formil. Hukum pembuktian materiil mengatur tentang dapat atau tidak diterimanya alat-alat bukti tertentu di persidangan serta mengatur tentang kekuatan pembuktian suatu alat bukti. Sedangkan hukum pembuktian formil mengatur tentang cara menerapkan alat bukti. Hal-hal yang harus dibuktikan oleh pihak yang berperkara adalah peristiwanya atau kejadian-kejadian yang menjadi pokok sengketa, bukan hukumnya, sebab yang menentukan hukumnya adalah Hakim. Dari peristiwa yang harus dibuktikan adalah kebenarannya, kebenaran yang harus dicari dalam hukum acara perdata adalah kebenaran formil, sedangkan dalam hukum acara pidana adalah kebenaran materiil. Upaya mencari kebenaran formil, berarti hakim hanya mengabulkan apa yang digugat serta dilarang mengabulkan lebih dari yang dimintakan dalam petitum (vide-pasal 178 HIR/189 ayat (3) RBG). Hakim hanya cukup membuktikan dengan memutus berdasarkan bukti yang cukup. Dalam memeriksa suatu perkara perdata hakim setidaknya harus melakukan tiga tindakan secara bertahap yakni : mengkonstantir yakni melihat benar tidaknya peristiwa yang diajukan sebagai dasar gugatan, mengkualifisir peristiwa, mengkonstituir yakni memberi hukumnya.

Alat-alat bukti yang sah menurut hukum acara perdata sebagaimana diatur dalam pasal 164 HIR/284 RBG, yaitu : surat-surat, saksi-saksi, pengakuan, sumpah, persangkaan hakim. Selain pasal 164 HIR/284 RBG pembuktian harus dikaitkan pula dengan : pasal 131 (1) HIR yang mengatur tentang dibacakannya alat bukti yang diajukan oleh pihak oleh hakim di persidangan untuk didengar pihak lawan, pasal 137 HIR/163 RBG yang mengatur tentang pihak lawan dapat meminta agar diperlihatkan kepadanya bukti-bukti surat yang diajukan oleh pihak lawannya, pasal 167 HIR tentang pihak berperkara dapat meminta salinan bukti milik pihak lawannya. Kekuatan pembuktian bersifat sempurna dan mengikat artinya, sempurna berarti hakim harus menganggap semua yang tertera dalam akta yang diajukan sebagai bukti itu merupakan hal yang benar, kecuali pihak lawan dapat membuktikan dengan akta lain bahwa akta yang diajukan tidak benar. Mengikat artinya hakim terikat dengan akta yang diajukan oleh pihak sebagai bukti, selama akta tersebut dibuat sesuai dengan ketentuan undang-undang tentang sahnya suatu akta. Suatu alat bukti dianggap sah memiliki nilai sebagai alat bukti yang mempunyai nilai kekuatan pembuktian, apabila telah mencapai batas minimal pembuktian. Dalam hal ini terkait dengan alat bukti permulaan yang merupakan alat bukti yang tidak memenuhi batas minimal alat bukti, sehingga alat bukti tersebut tidak dapat diterima sebagai bukti untuk mendukung dalil gugatan kecuali ditambah dengan paling sedikit satu alat bukti lagi. Hal-hal yang tidak perlu dibuktikan dalam acara pembuktian di persidangan antara lain : segala sesuatu yang dianggap telah diketahui oleh umum, hal-hal yang dilihat sendiri oleh hakim di persidangan dalam proses persidangan, seperti pihak tergugat tidak hadir, hal-hal yang diajukan oleh penggugat yang diakui oleh tergugat.

Pasal 163HIR/283 RBG mengatur beban pembuktian dibebankan kepada pihak yang berkepentingan, tidak hanya kepada penggugat tetapi bisa juga kepada tergugat, yakni ketika tergugat menyangkal dalil gugatan. Pokok-pokok dalam ketentuan pasal tersebut pada intinya mengatur tentang beberapa hal antara lain : dalam proses perdata soal pembuktian dilakukan oleh para pihak yang berperkara bukan hakim, penggugat harus dapat membuktikan hak-haknya yang digugat dan sebaliknya tergugat harus dapat membuktikan penyangkalannya atas dalil-dalil gugatan penggugat, hakim harus membagi beban pembuktian kepada para pihak dan juga harus mengatur fakta yang harus dibuktikan baik oleh penggugat maupun tergugat karena pembagian beban pembuktian sangat menentukan suatu perkara, hakim harus menilai bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak apakah fakta-fakta itu benar terjadi dengan bukti-bukti yang diajukan. Hal-hal lain yang perlu menjadi pertimbangan hakim dalam pembuktian adalah sebagai berikut : beban pembuktian yang terkait dengan siapa yang terlebih dahulu membuktikan dan kapan beban pembuktian diberikan kepada penggugat dan tergugat, alat-alat bukti apa saja yang sah menurut hukum, apakah alat bukti tersebut telah mencapai batas minimal sehingga memiliki kekuatan pembuktian.

oleh: Michael Agustin (Managing partner MANP Lawyers Litigation & Corporate)

*Tulisan ini bukan merupakan kajian komprehensif tentang sebuah perkara, untuk penanganan perkara dan informasi lebih lanjut silahkan hubungi kami.

Recommended Posts

Leave a Comment

Contact Us

We're not around right now. But you can send us an email and we'll get back to you, asap.

Start typing and press Enter to search